Gapura Panca Waluya, Kurikulum Merdeka, dan Deep Learning

Category : Telaah Ilmu

Provinsi Jawa Barat, dengan posisi strategis dalam kajian pendidikan nasional, memiliki kekayaan budaya Sunda yang menjadi aset tak ternilai dalam pembentukan karakter generasi muda. Pemerintah provinsi secara berkelanjutan berupaya meningkatkan mutu pendidikan agar selaras dengan tuntutan zaman global sekaligus mengakar pada nilai-nilai luhur lokal. Upaya ini tercermin dalam berbagai inisiatif kebijakan yang bertujuan menciptakan sistem pendidikan yang holistik dan transformatif.

1. Harmonisasi Kearifan Lokal, Kebijakan Nasional, dan Inovasi Teknologi dalam Pendidikan Jawa Barat

Salah satu inisiatif penting adalah program “Gapura Panca Waluya” (GPW), sebuah kebijakan pendidikan karakter yang digagas berdasarkan kearifan lokal Sunda.1 GPW bukan sekadar program tambahan, melainkan sebuah manifestasi visi untuk membentuk manusia seutuhnya, yang sehat jasmani-rohani, berakhlak mulia, jujur, cerdas, dan terampil.2 Pada saat yang sama, sistem pendidikan nasional mengadopsi “Kurikulum Merdeka Belajar” (KMB), sebuah kerangka kerja yang menekankan fleksibilitas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan pengembangan Profil Pelajar Pancasila.3 KMB memberikan ruang bagi satuan pendidikan untuk berinovasi dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa serta konteks lokal.

Di tengah dinamika kebijakan tersebut, kemajuan teknologi, khususnya “deep learning”, menawarkan potensi signifikan untuk merevolusi metode pengajaran, personalisasi pembelajaran, dan sistem asesmen.4 Penting untuk dicatat bahwa istilah “deep learning” dalam konteks pendidikan di Jawa Barat saat ini lebih merujuk pada pendekatan pedagogis yang menekankan pembelajaran mendalam, bermakna, dan menyenangkan, sebagaimana diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.6 Ini perlu dibedakan dari “deep learning” sebagai cabang kecerdasan buatan (AI) yang memiliki kapabilitas analisis data kompleks, meskipun keduanya berpotensi saling melengkapi di masa depan.

Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis bagaimana GPW diimplementasikan di berbagai jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK) di Jawa Barat. Lebih lanjut, laporan ini akan mengkaji bagaimana GPW bersinergi dan berpotensi menghadapi tantangan dalam implementasinya bersamaan dengan KMB. Selain itu, akan dieksplorasi bagaimana “deep learning”, baik dalam konsepsi pedagogis maupun sebagai teknologi AI, dapat diintegrasikan untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan holistik yang diusung oleh kedua kebijakan tersebut.

Sebuah pertimbangan penting dalam menganalisis interaksi antara GPW dan KMB adalah potensi tumpang tindih sekaligus sinergi antara inisiatif pendidikan berbasis kearifan lokal dengan kebijakan pendidikan nasional. GPW, yang berakar kuat pada nilai-nilai budaya Sunda 2, dan KMB, yang menawarkan fleksibilitas nasional 3, secara teoretis dapat saling melengkapi. Fleksibilitas KMB semestinya memungkinkan integrasi nilai-nilai GPW ke dalam struktur kurikulum. Namun, jika tidak dikelola dengan cermat, sekolah dapat menghadapi beban ganda dalam mengelola dua kerangka kerja yang, meskipun sejalan, mungkin memiliki detail implementasi dan pelaporan yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan strategi implementasi yang hati-hati dan panduan teknis yang jelas dari Dinas Pendidikan Jawa Barat. Panduan ini krusial untuk mengintegrasikan GPW secara efektif ke dalam struktur KMB, khususnya dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan kegiatan intrakurikuler lainnya, sehingga tidak menimbulkan kebingungan atau beban administratif berlebih bagi satuan pendidikan.

Selanjutnya, penggunaan istilah “deep learning” oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang saat ini merujuk pada pendekatan pedagogis 6 merupakan langkah awal yang positif. Pendekatan ini, yang menekankan pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menyenangkan, dapat membangun fondasi pola pikir siswa dan guru yang lebih terbuka dan reflektif. Namun, untuk pemanfaatan jangka panjang dan pengelolaan ekspektasi publik, penting untuk membedakannya dengan “deep learning” sebagai teknologi AI yang memiliki kemampuan analisis data canggih untuk personalisasi dan evaluasi.4 Klarifikasi ini penting agar perencanaan pengembangan kapasitas teknologi di masa depan dapat dilakukan secara strategis. Pendekatan pedagogis “deep learning” yang ada saat ini dapat menjadi landasan penting bagi kesiapan sistem pendidikan Jawa Barat dalam mengadopsi teknologi AI “deep learning” secara lebih luas di kemudian hari, dengan catatan bahwa komunikasi publik dan program pelatihan guru harus secara eksplisit membedakan kedua konsep ini.

2. Gapura Panca Waluya: Fondasi Karakter Berbasis Budaya Sunda

Gapura Panca Waluya (GPW) merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan di Jawa Barat, yang secara sadar mengangkat kearifan lokal Sunda sebagai basis utama pembentukan karakter. Inisiatif ini bukan sekadar program formal, melainkan sebuah gerakan kebudayaan yang bertujuan merekontekstualisasikan nilai-nilai luhur Sunda ke dalam kebijakan publik di sektor pendidikan.2 GPW adalah manifestasi dari visi untuk membentuk manusia seutuhnya, yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional, spiritual, dan sosial, sebagaimana yang dicita-citakan dalam filosofi pendidikan karakter dari Tatar Sunda.1

Filosofi, Nilai-Nilai Inti, dan Tujuan

Inti dari GPW adalah lima nilai utama yang dikenal sebagai “Panca Waluya”, sebuah akronim dari lima karakter ideal manusia Sunda yang diharapkan terwujud dalam diri setiap peserta didik di Jawa Barat 2:

  1. Cageur: Sehat jasmani dan rohani. Kesehatan dipandang sebagai fondasi utama agar proses belajar dapat berlangsung secara optimal. Ini mencakup kesehatan fisik, mental, dan spiritual.
  2. Bageur: Baik budi pekertinya. Nilai ini menekankan bahwa akhlak mulia dan perilaku yang baik jauh lebih penting daripada sekadar pencapaian prestasi akademik semata.
  3. Bener: Jujur dan benar dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Kejujuran dianggap sebagai dasar dari peradaban dan integritas individu.
  4. Pinter: Cerdas, berilmu, dan berpengetahuan luas. Kecerdasan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada kemampuan kognitif, tetapi juga harus diiringi dengan etika dan kebijaksanaan dalam menggunakan ilmu tersebut.
  5. Singer: Cekatan, terampil, kreatif, dan adaptif. Dunia yang terus berubah membutuhkan generasi yang sigap dalam bertindak, inovatif dalam berkarya, dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan.

Kelima nilai ini tidak dirancang sebagai slogan kosong, melainkan sebagai pedoman nyata dalam setiap aspek penyelenggaraan pendidikan. Tujuan utama GPW adalah untuk membentuk generasi Jawa Barat yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan ketangguhan dalam menghadapi dinamika masa depan. Program ini berupaya menyeimbangkan antara pengembangan kecakapan akademis dengan pembentukan nilai-nilai luhur dan karakter mulia.2 Sekolah didorong untuk bertransformasi menjadi “ruang kehidupan” di mana siswa belajar tidak hanya dari buku teks, tetapi juga dari kebiasaan baik, pengalaman langsung, dan interaksi sosial yang positif.

Landasan Kebijakan: Surat Edaran Gubernur dan 9 Langkah Strategis

Implementasi GPW didasarkan pada landasan kebijakan yang kuat, yaitu Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat Nomor 43/PK.03.04/KESRA. Surat Edaran ini ditujukan kepada Bupati dan Walikota yang memiliki kewenangan atas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP); Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang bertanggung jawab atas Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) serta lembaga setara; dan Kantor Wilayah Kementerian Agama yang membina pondok pesantren.8

SE tersebut menguraikan sembilan langkah strategis pembangunan pendidikan Jawa Barat menuju terwujudnya Gapura Panca Waluya. Langkah-langkah ini mencakup berbagai aspek, mulai dari perbaikan sarana prasarana hingga penguatan aspek moral dan spiritual siswa 9:

  1. Peningkatan Sarana Pendidikan yang Layak dan Inklusif: Termasuk penyediaan dan perbaikan toilet yang layak di dalam setiap ruang kelas untuk menunjang kesehatan dan kenyamanan.
  2. Larangan Study Tour yang Memberatkan Orang Tua: Kegiatan study tour yang berbiaya mahal dan membebani orang tua dilarang. Sebagai alternatif, sekolah didorong untuk melaksanakan kegiatan edukatif berbasis inovasi, seperti pengelolaan sampah mandiri, praktik pertanian organik, peternakan, perikanan, serta pengenalan dunia usaha dan industri.
  3. Larangan Wisuda di Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah: Upacara wisuda di tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK ditiadakan karena dianggap lebih bersifat seremonial tanpa memberikan kontribusi akademik yang signifikan bagi perkembangan pendidikan siswa.11
  4. Pemerataan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Anjuran Membawa Bekal: Sekolah diminta mempersiapkan implementasi program MBG secara menyeluruh. Siswa juga dianjurkan membawa bekal makanan dari rumah untuk memastikan asupan gizi, mengurangi jajan sembarangan, dan menumbuhkan kebiasaan menabung.12
  5. Larangan Berkendara bagi Siswa di Bawah Umur: Peserta didik yang belum memenuhi syarat usia dan belum memiliki surat izin mengemudi dilarang menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah. Mereka dianjurkan untuk berjalan kaki, menggunakan sepeda, atau memanfaatkan transportasi umum.
  6. Toleransi Khusus bagi Daerah Terpencil: Kebijakan ini memberikan kelonggaran bagi siswa yang tinggal di daerah terpencil dengan mempertimbangkan jarak dan kesulitan akses menuju sekolah, guna memastikan semua siswa tetap dapat mengakses pendidikan dengan layak.
  7. Penguatan Karakter Disiplin dan Kebangsaan: Siswa didorong untuk aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menumbuhkan semangat cinta tanah air, kedisiplinan, dan karakter kebangsaan, seperti Pramuka, Paskibra, dan Palang Merah Remaja (PMR).
  8. Pembinaan Khusus bagi Siswa Bermasalah: Siswa yang menunjukkan perilaku bermasalah (misalnya, sering terlibat tawuran, kecanduan game online, merokok, mengonsumsi minuman keras, balapan liar, atau menggunakan knalpot bising) akan mendapatkan program pembinaan khusus. Pembinaan ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan orang tua dan melalui upaya kolaboratif antara Pemerintah Provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, serta TNI/Polri.
  9. Penguatan Pendidikan Moral dan Spiritual: Menekankan pentingnya peningkatan pendidikan moralitas dan spiritualitas melalui pendekatan agama yang sesuai dengan keyakinan masing-masing siswa.

Nilai-nilai GPW yang holistik, mencakup aspek fisik (Cageur), moral (Bageur, Bener), intelektual (Pinter), dan keterampilan/adaptabilitas (Singer), sejatinya mencerminkan kearifan Sunda yang menekankan keseimbangan hidup. Ini menjadi fondasi yang kokoh untuk pendidikan karakter yang tidak hanya menyentuh ranah kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Agar efektif, kelima nilai ini tidak cukup diajarkan sebagai konsep terpisah atau slogan, melainkan harus terintegrasi secara mendalam dalam seluruh pengalaman belajar siswa, baik di dalam maupun di luar kelas, serta tercermin dalam setiap aspek budaya sekolah.

Namun, kebijakan Sembilan Langkah Strategis GPW, terutama poin-poin yang bersifat larangan (seperti larangan study tour dan wisuda) serta intervensi (seperti pembinaan khusus dengan melibatkan TNI/Polri), menunjukkan pendekatan yang cenderung top-down dan direktif. Meskipun tujuan di baliknya mungkin positif, seperti mengurangi beban biaya orang tua atau menanamkan disiplin, pendekatan semacam ini berpotensi menimbulkan resistensi atau menyebabkan implementasi yang hanya bersifat seremonial di tingkat sekolah. Hal ini dapat terjadi jika kebijakan tidak disertai dengan dialog yang memadai dan pemahaman yang mendalam dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat luas.10 Oleh karena itu, diperlukan mekanisme sosialisasi, pendampingan, dan evaluasi partisipatif untuk memastikan bahwa kebijakan ini dipahami, diterima, dan diimplementasikan secara substantif, bukan sekadar formalitas, dengan tetap memberikan ruang adaptasi sesuai konteks lokal sekolah tanpa mengurangi esensi kebijakan.

Sebagai gambaran yang lebih terstruktur, berikut adalah tabel yang merangkum poin-poin kunci implementasi GPW:

Tabel 1: Poin-Poin Kunci Implementasi Gapura Panca Waluya (Berdasarkan SE No. 43/PK.03.04/KESRA dan sumber terkait)

No Poin Kebijakan/Langkah Strategis Deskripsi Singkat Potensi Dampak Positif Potensi Tantangan/Kritik
1 Peningkatan Sarana Pendidikan Layak dan Inklusif Penyediaan toilet dalam kelas, perbaikan infrastruktur dasar sekolah. 9 Meningkatkan kesehatan, kenyamanan, dan kualitas lingkungan belajar. Keterbatasan anggaran daerah, pemerataan kualitas sarana di seluruh wilayah.
2 Larangan Study Tour yang Memberatkan Orang Tua Penggantian dengan kegiatan inovatif berbasis lokal (pengelolaan sampah, pertanian organik, dll.). 9 Mengurangi beban finansial orang tua, meningkatkan relevansi pembelajaran dengan konteks lokal. Persepsi hilangnya kesempatan belajar di luar, potensi dampak pada industri pariwisata yang terkait sekolah. 13
3 Larangan Wisuda di Jenjang Dasar dan Menengah Dianggap seremonial tanpa makna akademik signifikan. 9 Mengurangi biaya tidak perlu, fokus pada esensi pendidikan. Dianggap menghilangkan momen apresiasi dan kenangan bagi siswa dan orang tua. 13
4 Pemerataan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) & Anjuran Bekal Sekolah mempersiapkan MBG, siswa dianjurkan membawa bekal dari rumah dan menabung. 9 Meningkatkan status gizi siswa, konsentrasi belajar, menumbuhkan kebiasaan hidup sehat dan hemat. Keberlanjutan anggaran MBG, kesadaran dan kemampuan orang tua menyediakan bekal sehat.
5 Larangan Berkendara bagi Siswa di Bawah Umur Siswa dianjurkan jalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum. 9 Meningkatkan keselamatan lalu lintas, mendorong aktivitas fisik, mengurangi polusi. Ketersediaan dan keamanan transportasi umum, jarak tempuh siswa yang jauh.
6 Toleransi Khusus bagi Daerah Terpencil Kelonggaran kebijakan terkait akses ke sekolah bagi siswa di daerah terpencil. 9 Menjamin hak atas pendidikan bagi semua siswa, mengatasi kendala geografis. Implementasi teknis kelonggaran yang adil dan tepat sasaran.
7 Penguatan Karakter Disiplin dan Kebangsaan Mendorong partisipasi dalam ekstrakurikuler (Pramuka, Paskibra, PMR). 9 Menumbuhkan disiplin, cinta tanah air, jiwa sosial, dan kepemimpinan. Kualitas dan variasi ekstrakurikuler, ketersediaan pembina yang kompeten.
8 Pembinaan Khusus bagi Siswa Bermasalah Kolaborasi dengan orang tua, Pemda, TNI/Polri untuk siswa dengan perilaku menyimpang (setelah persetujuan orang tua). 9 Upaya mengatasi kenakalan remaja, memberikan efek jera. Potensi labeling “anak nakal”, pendekatan yang mungkin tidak sesuai untuk semua kasus, kekhawatiran militerisasi. 13
9 Penguatan Pendidikan Moral dan Spiritual Peningkatan pendidikan agama sesuai keyakinan masing-masing. 9 Membangun landasan moral dan spiritual yang kuat, menyeimbangkan kecerdasan intelektual. Menjamin pendekatan yang inklusif dan menghargai keberagaman keyakinan, ketersediaan guru agama yang berkualitas.

3. Kurikulum Merdeka Belajar: Paradigma Baru Pendidikan Nasional

Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) hadir sebagai respons terhadap kebutuhan akan sistem pendidikan yang lebih dinamis, relevan, dan berpusat pada peserta didik. KMB dirancang untuk memungkinkan siswa mendalami konsep dan mengasah keterampilan secara lebih memadai melalui struktur pembelajaran intrakurikuler yang beragam dan fleksibel.15 Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang pesat, sehingga mampu membekali siswa dengan kompetensi yang dibutuhkan di masa kini dan masa depan.3

Prinsip-Prinsip Utama, Fokus pada Kompetensi, dan Profil Pelajar Pancasila

KMB dibangun di atas beberapa prinsip dasar yang membedakannya dari kurikulum sebelumnya.3 Pertama, penyesuaian dengan perkembangan zaman, yang menekankan relevansi materi pembelajaran dengan konteks kehidupan nyata dan kebutuhan dunia kerja. Kedua, pembelajaran berbasis kompetensi, yang berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi—sering disebut sebagai kompetensi abad ke-21—alih-alih sekadar penguasaan konten. Ketiga, kemandirian dan kreativitas guru, di mana pendidik diberikan otonomi lebih besar untuk merancang metode pengajaran yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan serta karakteristik siswa. Keempat, pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran, yang didorong untuk memperkaya pengalaman belajar dan meningkatkan aksesibilitas sumber informasi. Kelima, pengembangan karakter, yang mengintegrasikan penanaman nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, dan empati. Keenam, pendidikan inklusif, yang memberikan kesempatan setara bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Ketujuh, fleksibilitas dalam penilaian, yang memungkinkan penggunaan berbagai bentuk asesmen seperti proyek, portofolio, dan penilaian keterampilan praktis, tidak hanya terbatas pada ujian tertulis.

Salah satu ciri khas KMB adalah fokus pada materi esensial.3 Ini berarti adanya penyederhanaan materi pembelajaran, dengan penekanan pada konsep-konsep inti dan kompetensi dasar yang paling penting. Tujuannya adalah agar siswa memiliki lebih banyak waktu untuk mendalami setiap topik secara komprehensif, mengembangkan pemahaman yang mendalam, dan mengasah kemampuan berpikir kritis, tanpa merasa terbebani oleh kuantitas informasi yang berlebihan. Materi yang dipilih juga diupayakan memiliki relevansi tinggi dengan kehidupan sehari-hari dan aplikasi praktis di dunia nyata, sehingga dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar.

Muara dari seluruh proses pembelajaran dalam KMB adalah terwujudnya Profil Pelajar Pancasila (PPP).3 PPP mendefinisikan pelajar Indonesia sebagai pembelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global namun tetap berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Terdapat enam dimensi utama dalam PPP: (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; (2) Berkebinekaan global; (3) Gotong royong; (4) Mandiri; (5) Bernalar Kritis; dan (6) Kreatif. Salah satu mekanisme utama untuk mencapai PPP adalah melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yaitu kegiatan pembelajaran berbasis proyek yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks nyata.

Fleksibilitas Implementasi dan Relevansinya dengan Kebutuhan Zaman

KMB memberikan otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum operasional yang sesuai dengan karakteristik unik, sumber daya yang dimiliki, dan kebutuhan spesifik peserta didiknya.3 Struktur kurikulum yang fleksibel ini memungkinkan sekolah untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi lokal, termasuk mengintegrasikan muatan lokal dan kearifan daerah, serta merancang pembelajaran yang lebih personal dan berbasis pada minat serta bakat siswa.3 Fleksibilitas ini dianggap krusial untuk menjawab tantangan zaman yang dinamis dan kebutuhan akan lulusan yang adaptif serta inovatif.

Perspektif Kritis terhadap KMB (Pandangan Ki Hajar Dewantara)

Meskipun KMB membawa banyak angin segar, terdapat pula perspektif kritis yang perlu dipertimbangkan, salah satunya datang dari analisis yang merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dari perspektif ini, KMB dinilai memiliki fokus yang mungkin terlalu sempit pada aspek aktualisasi diri peserta didik, dengan potensi mengabaikan penanaman nilai-nilai budaya yang esensial bagi pembentukan manusia seutuhnya.15 Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengintegrasikan peserta didik dengan budayanya agar mereka tidak terasing dari realitas hidupnya. Budaya Timur, khususnya Indonesia, yang kaya akan nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, keramahan, dan kasih sayang, dianggap berbeda secara fundamental dengan budaya Barat yang cenderung lebih individualistis dan mungkin lebih berorientasi pada kebutuhan industrialisasi.15 Jika aspek budaya ini tidak mendapatkan penekanan yang cukup dalam kurikulum, dikhawatirkan peserta didik, meskipun kompeten di bidangnya, akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan berkontribusi secara harmonis dalam masyarakat.

Lebih lanjut, kritik juga dilayangkan terhadap argumen di balik kebijakan evaluasi dalam KMB, khususnya terkait penghapusan Ujian Nasional yang digantikan dengan Asesmen Nasional. Argumen yang dikemukakan, seperti kepedulian terhadap kesetaraan akses ke perguruan tinggi bagi siswa dari keluarga kurang mampu, dinilai dangkal dan tidak menyentuh hakikat evaluasi pendidikan itu sendiri. Menurut pandangan Ki Hajar Dewantara, evaluasi pendidikan seharusnya mampu mengukur keluasan wawasan, keberanian, keteguhan hati, dan ketaatan beragama peserta didik, aspek-aspek yang mungkin tidak sepenuhnya terakomodasi dalam model asesmen saat ini.15

Fleksibilitas yang ditawarkan oleh KMB, terutama melalui P5 dan opsi pengembangan muatan lokal, secara teoretis menyediakan “ruang” yang sangat ideal untuk mengintegrasikan program-program berbasis kearifan lokal seperti GPW. Namun, keberhasilan integrasi ini tidak otomatis terjadi. Ia sangat bergantung pada kapasitas sekolah, terutama kepala sekolah dan para guru, dalam menerjemahkan kedua kerangka kerja tersebut—GPW dan KMB—menjadi praktik pembelajaran yang koheren, substantif, dan bermakna bagi siswa. Tanpa pemahaman yang mendalam dan keterampilan pedagogis yang memadai dari para pendidik, integrasi ini berisiko menjadi dangkal atau hanya bersifat administratif. Oleh karena itu, investasi yang signifikan dalam program pelatihan dan pendampingan bagi guru serta kepala sekolah di Jawa Barat menjadi sangat krusial. Tujuannya adalah agar mereka mampu secara kreatif dan efektif menanamkan nilai-nilai GPW ke dalam struktur KMB, bukan sekadar menempelkan label GPW pada kegiatan-kegiatan yang sudah ada atau berjalan seperti biasa.

Menariknya, kritik terhadap KMB yang diinspirasi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang menyoroti potensi kurangnya penekanan pada nilai-nilai budaya 15, justru memberikan justifikasi dan penguatan bagi relevansi inisiatif seperti GPW. Jika KMB memang memiliki potensi “kekosongan” dalam aspek penanaman budaya lokal yang mendalam, maka GPW dapat dilihat sebagai upaya konkret dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengisi kekosongan tersebut dalam konteks pendidikan di wilayahnya. GPW, dengan penekanannya yang kuat pada nilai-nilai Sunda, berpotensi melengkapi dan memperkaya implementasi KMB, menjadikannya lebih kontekstual dan berakar. Dengan demikian, Pemprov Jabar dapat memposisikan GPW bukan sebagai program yang terpisah atau bahkan bertentangan dengan KMB, melainkan sebagai sebuah pengayaan kontekstual yang esensial, yang menjawab kebutuhan akan penguatan akar budaya dalam kerangka kurikulum nasional. Ini bahkan bisa menjadi model bagi daerah-daerah lain di Indonesia yang ingin mengintegrasikan kearifan lokal mereka ke dalam KMB.

Selanjutnya, fokus KMB pada pengembangan materi esensial dan kompetensi abad ke-21 3 tampak selaras dengan nilai “Pinter” (cerdas) dan “Singer” (cekatan, terampil) dalam GPW.2 Keduanya mendorong pengembangan kemampuan intelektual dan adaptabilitas siswa. Namun, GPW juga memberikan penekanan yang sangat kuat pada nilai “Bageur” (baik budi pekerti) dan “Bener” (jujur dan benar). Aspek-aspek karakter ini, yang merupakan inti dari GPW, perlu dipastikan tidak terpinggirkan oleh tuntutan pencapaian kompetensi kognitif dan keterampilan yang seringkali dianggap lebih mudah diukur dan lebih mendesak untuk dipenuhi dalam persaingan global. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembiasaan, keteladanan, dan penilaian karakter yang komprehensif dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa nilai-nilai “Bageur” dan “Bener” benar-benar terinternalisasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari diri siswa, seiring dengan pengembangan kompetensi “Pinter” dan “Singer” yang diamanatkan oleh KMB.

4. Integrasi Strategis Gapura Panca Waluya dan Kurikulum Merdeka di Jawa Barat

Upaya untuk menyelaraskan kebijakan pendidikan daerah dengan kerangka nasional merupakan langkah krusial dalam menciptakan sistem pendidikan yang koheren dan efektif. Di Jawa Barat, integrasi antara Gapura Panca Waluya (GPW) yang berakar pada kearifan lokal Sunda dan Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) yang merupakan kebijakan nasional, menawarkan peluang unik untuk memperkaya pengalaman belajar siswa dan memperkuat pembentukan karakter.

Analisis Keselarasan dan Potensi Titik Temu antara GPW dan KMB

Terdapat banyak titik temu dan potensi sinergi antara nilai-nilai yang diusung GPW dan prinsip-prinsip serta tujuan KMB, khususnya Profil Pelajar Pancasila (PPP). Kelima nilai inti GPW—Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer—memiliki korelasi yang kuat dengan enam dimensi PPP.16 Sebagai contoh, nilai “Bageur” (baik budi pekerti) dan “Bener” (jujur dan benar) sangat relevan dengan dimensi PPP “Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia” serta “Gotong Royong”. Sikap welas asih, saling membantu, dan integritas yang terkandung dalam “Bageur” dan “Bener” merupakan manifestasi konkret dari akhlak mulia dan semangat gotong royong. Sementara itu, nilai “Pinter” (cerdas) dan “Singer” (cekatan, terampil) sejalan dengan dimensi PPP seperti “Bernalar Kritis,” “Kreatif,” dan “Mandiri”. Kemampuan untuk berpikir analitis, menghasilkan solusi inovatif, dan bertindak secara proaktif adalah inti dari nilai-nilai tersebut. Adapun nilai “Cageur” (sehat jasmani dan rohani) menjadi prasyarat penting yang mendukung keseluruhan potensi siswa untuk belajar, berkembang, dan mengaktualisasikan seluruh dimensi PPP.

Dalam konteks budaya Sunda, upaya pembumian PPP ini juga dapat didasarkan pada konsep “Catur Diri Insan”, yaitu empat pilar kepribadian manusia Sunda: pribadi yang beriman (pengkuh agamana), berilmu (luhung élmuna), berbudaya (nyunda), dan berjiwa ksatria atau bertanggung jawab (nyantana). Keempat pilar ini dilihat sebagai landasan bagi individu untuk dapat memasuki lima gerbang kebahagiaan atau kesempurnaan hidup yang direpresentasikan oleh Gapura Panca Waluya.16 Keterkaitan ini menunjukkan adanya upaya sadar untuk menerjemahkan konsep nasional PPP ke dalam bahasa dan kerangka berpikir budaya lokal, sehingga lebih mudah dipahami dan diinternalisasi oleh masyarakat Sunda.

Salah satu wahana paling strategis untuk mengintegrasikan GPW ke dalam KMB adalah melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).3 P5, sebagai salah satu ciri khas KMB, memberikan ruang yang luas bagi sekolah untuk merancang proyek-proyek pembelajaran kontekstual yang dapat mengangkat tema-tema kearifan lokal, nilai-nilai budaya, dan isu-isu relevan di masyarakat, yang kesemuanya dapat dijiwai oleh semangat GPW. Selain itu, KMB juga mengakomodasi pengembangan muatan lokal.18 Di Jawa Barat, muatan lokal ini dapat diisi dengan pembelajaran Bahasa Sunda dan pendalaman nilai-nilai budaya yang terkandung dalam GPW. Penting untuk dicatat bahwa integrasi ini tidak harus selalu dalam bentuk mata pelajaran terpisah, tetapi juga dapat dilakukan secara tematik atau terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran lain yang relevan.16

Bagaimana Nilai-Nilai GPW Memperkuat Pencapaian Profil Pelajar Pancasila

Integrasi nilai-nilai GPW ke dalam implementasi KMB dapat memberikan “warna lokal” dan kedalaman kontekstual yang signifikan pada upaya pencapaian PPP. Sebagai contoh, dimensi “Gotong Royong” dalam PPP dapat dimaknai dan dihayati secara lebih mendalam melalui internalisasi nilai-nilai kearifan Sunda seperti silih asih (saling mengasihi), silih asah (saling mencerdaskan/mengasah kemampuan), dan silih asuh (saling membimbing/melindungi), yang secara implisit terkandung dalam nilai “Bageur” pada GPW. Dengan demikian, PPP tidak hanya menjadi konsep abstrak, tetapi juga terhubung dengan praktik budaya yang hidup di masyarakat.

Lebih lanjut, pendidikan karakter dalam GPW yang menekankan pada pembiasaan, keteladanan, dan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dan masyarakat 2 dapat memperkuat proses internalisasi nilai-nilai PPP. Pendekatan ini membantu siswa untuk tidak hanya mengetahui nilai-nilai tersebut (aspek kognitif), tetapi juga merasakannya (aspek afektif) dan mempraktikkannya (aspek psikomotorik), sehingga nilai-nilai tersebut benar-benar menjadi bagian dari karakter mereka.

Tantangan dalam Mensinergikan Kebijakan Lokal dan Nasional

Meskipun potensi sinergi sangat besar, upaya mengintegrasikan GPW dan KMB juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Pertama, potensi beban ganda bagi guru dan sekolah. Jika tidak ada panduan integrasi yang jelas dan komprehensif, pendidik mungkin merasa terbebani karena harus memahami, merencanakan, dan melaksanakan dua kerangka kerja (GPW dan KMB) secara terpisah, yang dapat berujung pada implementasi yang bersifat parsial atau formalitas belaka.

Kedua, menjaga keseimbangan antara keseragaman standar nasional dan kekayaan kontekstualisasi lokal. Penting untuk memastikan bahwa esensi KMB sebagai kurikulum nasional tetap terjaga, sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi ekspresi dan pendalaman kekhasan nilai-nilai GPW.

Ketiga, kapasitas guru. Kesiapan dan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan substantif dalam mengintegrasikan kedua kerangka kerja ini menjadi faktor penentu keberhasilan. Hal ini menuntut adanya program pengembangan profesional yang berkelanjutan dan relevan.

Keempat, pengembangan model asesmen. Diperlukan model asesmen yang komprehensif dan autentik, yang mampu mengukur tidak hanya pencapaian kompetensi kognitif dan keterampilan dalam KMB, tetapi juga internalisasi nilai-nilai karakter yang diusung GPW serta perkembangan dimensi-dimensi PPP secara holistik.

Kelima, potensi adanya kesenjangan atau perbedaan penekanan antara kebijakan GPW yang cenderung direktif, sebagaimana terlihat dalam beberapa poin Surat Edaran Gubernur 9, dengan semangat KMB yang lebih menekankan otonomi dan pemberdayaan satuan pendidikan.19 Mengatasi potensi friksi ini memerlukan dialog dan pemahaman bersama antar pemangku kepentingan.

Agar sinergi antara GPW dan KMB dapat berjalan optimal, GPW sebaiknya tidak diposisikan hanya sebagai “tambahan kurikulum” atau “muatan lokal eksklusif” yang diajarkan secara terpisah. Lebih dari itu, nilai-nilai GPW idealnya menjadi “jiwa” atau “perspektif” yang meresapi seluruh proses implementasi KMB di Jawa Barat. Ini berarti bahwa kelima nilai inti GPW—Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer—harus terinternalisasi dalam cara guru mengajar semua mata pelajaran, dalam interaksi sehari-hari di sekolah, dan dalam keseluruhan budaya sekolah yang dibangun. Sebagai contoh, nilai “Bener” (kejujuran, kebenaran) tidak hanya diajarkan dalam pelajaran agama atau budi pekerti, tetapi juga ditekankan dalam pembelajaran matematika melalui pentingnya akurasi dan integritas dalam mengerjakan soal, atau dalam pelajaran sejarah melalui analisis kritis terhadap sumber informasi. Demikian pula, nilai “Singer” (cekatan, kreatif) dapat dikembangkan dalam pelajaran seni melalui proyek-proyek inovatif, atau dalam pelajaran IPA melalui eksperimen dan pemecahan masalah. Dengan pendekatan ini, GPW akan menjadi lebih meresap dan berdampak. Pelatihan guru, oleh karena itu, harus difokuskan pada bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai GPW secara implisit dan eksplisit dalam berbagai konteks pembelajaran, bukan hanya sekadar membuat modul GPW yang terisolasi.

Keberhasilan integrasi GPW dan KMB juga sangat bergantung pada bagaimana Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat beserta jajaran pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota memberikan dukungan yang konsisten dan berkelanjutan kepada satuan pendidikan. Dukungan ini tidak cukup hanya berupa instruksi melalui surat edaran. Lebih dari itu, sekolah dan guru memerlukan sumber daya yang memadai (baik finansial maupun material), program pelatihan dan pendampingan yang berkualitas dan berkelanjutan, serta fasilitasi forum-forum untuk berbagi praktik baik dan pembelajaran antar sekolah. Tanpa dukungan sistemik yang kuat, semangat awal dari sebuah kebijakan inovatif dapat dengan mudah memudar ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan praktis di lapangan. Pembentukan tim pendamping khusus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang proaktif membantu sekolah dalam proses implementasi, serta pengembangan platform digital untuk berbagi sumber belajar dan praktik baik terkait integrasi GPW-KMB, dapat menjadi langkah strategis yang signifikan.

Berikut adalah matriks yang mencoba memetakan perbandingan dan potensi sinergi antara konsep kunci GPW dan KMB (khususnya PPP):

Tabel 2: Matriks Perbandingan dan Sinergi Konsep Kunci: Gapura Panca Waluya vs. Kurikulum Merdeka Belajar (Profil Pelajar Pancasila)

Aspek Kunci Gapura Panca Waluya (GPW) Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) – Profil Pelajar Pancasila (PPP) Titik Sinergi & Cara Integrasi
Tujuan Utama Membentuk manusia Sunda seutuhnya: sehat, baik, benar, pintar, cekatan. 2 Membentuk Pelajar Pancasila: pembelajar sepanjang hayat, kompeten global, berperilaku sesuai nilai Pancasila. 3 GPW memperkaya PPP dengan nilai kearifan lokal Sunda, memberikan konteks budaya pada pencapaian karakter nasional. Integrasi melalui P5, pembelajaran intrakurikuler, dan budaya sekolah.
Fokus Pengembangan Siswa Holistik: fisik (Cageur), moral-etik (Bageur, Bener), intelektual (Pinter), keterampilan-adaptabilitas (Singer). 2 Holistik: 6 dimensi PPP (Beriman & Bertakwa, Berkebinekaan Global, Gotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis, Kreatif). 16 Nilai GPW (misal: Bageur, Bener) selaras dengan dimensi Beriman & Bertakwa dan Gotong Royong. Pinter & Singer selaras dengan Bernalar Kritis, Kreatif, Mandiri. Cageur mendukung semua dimensi.
Basis Nilai/Filosofi Kearifan lokal Sunda, nilai-nilai luhur budaya Pasundan. 2 Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. 3 Catur Diri Insan Sunda (pengkuh agamana, luhung élmuna, nyunda, nyantana) dapat menjadi landasan lokal untuk mencapai PPP melalui gerbang GPW. 16
Pendekatan Pembelajaran Pembiasaan, keteladanan, pengalaman langsung, integrasi dalam kehidupan sekolah dan masyarakat. 2 Pembelajaran terdiferensiasi, berbasis proyek (P5), fokus pada kompetensi esensial, fleksibel dan berpusat pada siswa. 3 P5 menjadi wahana ideal untuk proyek berbasis nilai GPW dan kearifan lokal. Fleksibilitas KMB memungkinkan integrasi GPW dalam berbagai model pembelajaran.
Peran Guru Sebagai teladan, fasilitator pembentukan karakter, pembimbing. Sebagai fasilitator pembelajaran, perancang pengalaman belajar yang bermakna, motivator. 3 Guru mengintegrasikan nilai GPW dalam setiap interaksi dan materi ajar, menjadi role model karakter Sunda yang ideal sekaligus fasilitator pencapaian PPP.
Penilaian Lebih bersifat kualitatif, observasi perilaku, internalisasi nilai (meskipun indikator formal perlu diperjelas). Formatif dan sumatif, beragam (proyek, portofolio, tes, observasi), fokus pada kemajuan belajar dan pencapaian kompetensi. 3 Pengembangan asesmen holistik yang mampu menangkap internalisasi nilai GPW (misal: melalui observasi dalam P5, catatan anekdotal) dan pencapaian dimensi PPP serta kompetensi KMB.

5. Deep Learning sebagai Akselerator Transformasi Pendidikan

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI), membuka peluang baru untuk mentransformasi lanskap pendidikan. Salah satu cabang AI yang menunjukkan potensi besar adalah deep learning. Di sisi lain, istilah “deep learning” juga digunakan dalam konteks pedagogis untuk merujuk pada pendekatan pembelajaran yang mendalam dan bermakna. Keduanya, meskipun berbeda, memiliki potensi untuk mengakselerasi pencapaian tujuan pendidikan yang lebih berkualitas dan relevan.

Potensi Deep Learning (AI) dalam Pendidikan

Deep learning sebagai teknologi AI merujuk pada algoritma jaringan saraf tiruan yang mampu belajar dari sejumlah besar data dan membuat keputusan atau prediksi secara mandiri.4 Dalam konteks pendidikan, teknologi ini menawarkan berbagai potensi aplikasi yang signifikan:

  • Personalisasi Pembelajaran Secara Otomatis: Sistem deep learning dapat menganalisis pola belajar, kekuatan, dan kelemahan setiap siswa, kemudian secara otomatis menyesuaikan materi, kecepatan, dan jenis latihan yang diberikan. Ini memungkinkan terwujudnya adaptive learning, di mana setiap siswa mendapatkan pengalaman belajar yang unik dan relevan dengan kebutuhannya, misalnya, siswa yang kesulitan dalam matematika akan menerima lebih banyak latihan dan penjelasan tambahan di area tersebut.4
  • Deteksi Dini terhadap Risiko Putus Sekolah: Dengan menganalisis berbagai data siswa (kehadiran, nilai, interaksi, latar belakang), algoritma deep learning dapat mengidentifikasi siswa yang menunjukkan pola berisiko putus sekolah, memungkinkan intervensi dini dan dukungan yang tepat sasaran.4
  • Peningkatan Sistem Penilaian Otomatis: Tugas-tugas seperti menilai ujian esai atau laporan tertulis, yang seringkali memakan waktu dan berpotensi subjektif jika dilakukan secara manual, dapat dibantu oleh sistem deep learning. Sistem ini dapat dilatih untuk menilai jawaban siswa berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dari data sebelumnya, sehingga guru dapat lebih fokus pada aspek pengembangan strategi mengajar.4
  • Pengenalan Suara dan Gambar untuk Pembelajaran Inklusif: Teknologi deep learning dapat mendukung pembelajaran yang lebih inklusif. Misalnya, aplikasi speech-to-text dan text-to-speech dapat membantu siswa dengan disabilitas pendengaran atau penglihatan. Pengenalan objek visual juga dapat memperkaya materi pembelajaran bagi semua siswa.4

“Deep Learning” sebagai Pendekatan Pedagogis di Jawa Barat

Menariknya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mulai mengimplementasikan konsep “deep learning” bukan sebagai teknologi AI, melainkan sebagai sebuah model pendekatan belajar.6 Pendekatan pedagogis ini dirancang untuk menguatkan pemahaman siswa melalui proses belajar yang lebih mendalam, dengan tujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih berkesadaran (mindfull learning), bermakna (meaningfull learning), sekaligus menyenangkan (joyfull learning). Implementasi ini dilakukan sebagai langkah transisi sambil menunggu kajian lebih lanjut mengenai Kurikulum Merdeka, dan diterapkan di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga satuan pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama.6 Observasi awal di beberapa sekolah, seperti SMAN Situraja Sumedang, menunjukkan bahwa siswa mulai memahami ketiga pilar utama pendekatan ini.7

Konsep “Deep Learning Berbasis Kearifan Lokal” dan Relevansinya dengan Budaya Sunda

Lebih jauh lagi, muncul gagasan inovatif mengenai “Deep Learning Berbasis Kearifan Lokal” yang bertujuan untuk memberdayakan Budaya Sunda di Era Society 5.0.20 Konsep ini berupaya menggeser paradigma pembelajaran dari sekadar menghafal fakta menjadi sebuah proses menenun makna, di mana teknologi dan budaya saling memperkaya. Beberapa prinsip atau pilar utama dari konsep ini antara lain 20:

  1. Kontekstualisasi Simbol Lokal: Mengikat setiap konsep Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) pada artefak atau simbol budaya Sunda. Sebagai contoh, konsep geometri dapat dipelajari melalui analisis motif batik Kawung, atau statistik melalui pemahaman pola panen padi tradisional.
  2. Algoritma Empati: Mengkaji peribahasa dan nilai-nilai luhur Sunda, seperti “silih asih, silih asah, silih asuh” (saling mengasihi, saling mencerdaskan, saling membimbing), melalui proyek pemrosesan bahasa alami (NLP) dengan AI. Model AI tidak hanya memetakan kemunculan kata, tetapi juga menganalisis sentimen kebersamaan dan empati, sehingga mengajarkan siswa bahwa pengambilan keputusan berbasis data harus tetap dijiwai oleh rasa welas asih.
  3. Kolaborasi Generasi: Menciptakan ruang belajar (misalnya, kelas daring) yang mempertemukan berbagai generasi dan keahlian, seperti dalang (maestro seni tradisional), petani (pemilik pengetahuan agraris lokal), dan pengembang aplikasi modern. Siswa dapat, misalnya, merancang solusi irigasi berbasis Internet of Things (IoT) sambil menyerap filosofi dari cerita wayang golek tentang keseimbangan alam.
  4. Inovasi Lestari: Mendorong siswa untuk merancang produk-produk berbasis circular economy (ekonomi sirkular) yang berbalut estetika lokal, seperti motif Mega Mendung, menggunakan material ramah lingkungan (misalnya, bioplastik dari singkong) dan diuji pasarkan melalui platform e-commerce lokal.
  5. Literasi Digital Humanis: Memanfaatkan platform digital, seperti pembuatan vlog berbahasa Sunda, di mana siswa dapat merefleksikan proses belajar mereka dan menyematkan kutipan atau ajaran dari tokoh-tokoh Sunda. Keterampilan produksi konten digital, SEO, dan analitik data digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai humanis dan melestarikan budaya.

Untuk mewujudkan konsep visioner ini, diperlukan beberapa langkah strategis, seperti mengintegrasikan modul kearifan lokal ke dalam semua mata pelajaran, melatih guru dalam merancang desain instruksional yang kontekstual, menyediakan pendanaan untuk inkubasi proyek-proyek kolaborasi budaya-teknologi, dan membangun repositori digital terbuka agar praktik-praktik baik dapat tersebar luas.20

Sinergi Deep Learning (Pedagogis & AI) dengan GPW dan KMB

Pendekatan “deep learning” pedagogis yang menekankan pembelajaran yang mindfull, meaningfull, dan joyfull dapat menciptakan atmosfer belajar yang sangat kondusif untuk internalisasi nilai-nilai luhur GPW dan pencapaian kompetensi yang diamanatkan oleh KMB. Suasana belajar yang positif dan mendalam akan membantu siswa tidak hanya memahami materi secara kognitif, tetapi juga meresapi nilai-nilai karakter yang ingin ditanamkan.

Di sisi lain, deep learning berbasis AI yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengembangkan materi ajar yang relevan dengan GPW. Contohnya, pembuatan aplikasi pembelajaran Bahasa Sunda yang interaktif dan adaptif, pengembangan simulasi virtual untuk mengalami aspek-aspek budaya Sunda, atau platform yang menyediakan konten-konten lokal yang kaya. Personalisasi pembelajaran melalui AI juga dapat membantu siswa dengan gaya belajar dan kecepatan yang berbeda untuk memahami nilai-nilai GPW dan materi KMB secara lebih efektif. Lebih lanjut, analisis data yang canggih dari sistem AI berpotensi membantu guru dalam memantau perkembangan karakter siswa (aspek GPW) dan penguasaan kompetensi (aspek KMB), meskipun hal ini memerlukan pengembangan metrik yang kompleks, valid, dan etis.

Konsep “Algoritma Empati” yang diusulkan dalam kerangka deep learning berbasis kearifan lokal 20 merupakan sebuah ide yang sangat inovatif dan memiliki potensi besar. Gagasan ini mencoba menjembatani kemajuan teknologi AI, yang seringkali dianggap dingin dan mekanistik, dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan budaya yang hangat dan mendalam, seperti filosofi Sunda silih asih, silih asah, silih asuh. Ini bukan hanya sekadar aplikasi teknologi, tetapi sebuah upaya untuk menanamkan etika dan empati dalam penggunaan AI itu sendiri. Jika berhasil diwujudkan, ini bisa menjadi ciri khas pendekatan Jawa Barat dalam mengadopsi AI di sektor pendidikan, sekaligus menjawab kekhawatiran umum bahwa teknologi dapat menggerus nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Untuk merealisasikannya, diperlukan investasi dalam riset dan pengembangan interdisipliner yang melibatkan ahli IT, budayawan, pendidik, dan psikolog, dimulai dari proyek-proyek percontohan skala kecil.

Namun, penting untuk menyadari adanya kesenjangan antara visi futuristik “Deep Learning Berbasis Kearifan Lokal” yang mengasumsikan penggunaan teknologi AI canggih, dengan implementasi “deep learning” saat ini di Jawa Barat yang masih lebih bersifat pendekatan pedagogis.7 Pendekatan pedagogis yang ada saat ini adalah fondasi yang baik, tetapi untuk mencapai visi pemanfaatan AI secara penuh, diperlukan sebuah peta jalan strategis jangka panjang. Peta jalan ini harus mencakup langkah-langkah konkret terkait peningkatan literasi digital guru dan siswa, pengembangan infrastruktur teknologi yang memadai dan merata, penyiapan sumber daya manusia (ahli data, pengembang AI pendidikan), serta alokasi pendanaan yang berkelanjutan. Pembentukan pusat-pusat riset AI pendidikan yang berkolaborasi dengan universitas dan industri juga bisa menjadi bagian dari strategi ini.

Meskipun deep learning (AI) menawarkan potensi besar untuk personalisasi dan efisiensi, penggunaannya juga membawa risiko etis yang perlu dimitigasi. Pengumpulan dan analisis data siswa dalam jumlah besar menimbulkan isu privasi dan keamanan data yang serius.4 Selain itu, algoritma AI dapat mengandung bias yang berasal dari data latihnya atau dari desainernya, yang berpotensi melanggengkan ketidaksetaraan. Upaya untuk menilai aspek karakter yang kompleks dan subtil, seperti nilai-nilai “Bageur” dan “Bener” dalam GPW, menggunakan AI secara otomatis juga sangat menantang dan sensitif. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu menyusun regulasi dan panduan etika yang ketat mengenai penggunaan AI dalam pendidikan. Panduan ini harus mencakup aspek pengumpulan dan penggunaan data siswa, transparansi algoritma, serta mekanisme akuntabilitas. Pengembangan AI untuk aspek karakter sebaiknya difokuskan sebagai alat bantu refleksi bagi guru dan siswa, atau sebagai sumber informasi pendukung, bukan sebagai penentu absolut atas penilaian karakter seseorang.

Berikut adalah tabel yang menggambarkan potensi aplikasi deep learning (baik pedagogis maupun AI) dalam mendukung implementasi GPW dan KMB:

Tabel 3: Potensi Aplikasi Deep Learning (Pedagogis dan AI) dalam Mendukung Implementasi GPW dan KMB

Jenis Deep Learning Nilai GPW / Aspek KMB yang Didukung Potensi Aplikasi / Strategi Implementasi Contoh Konkret/Studi Kasus (Referensi) Tantangan / Pertimbangan Etis
Pedagogis Semua nilai GPW (Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer); Semua dimensi PPP & kompetensi KMB. Menciptakan pembelajaran yang berkesadaran (mindfull), bermakna (meaningfull), dan menyenangkan (joyfull). Metode pembelajaran berbasis proyek mendalam, diskusi reflektif, pembelajaran kontekstual. Implementasi di SMAN Situraja Sumedang dan sekolah lain di Jabar. 7 Konsistensi pemahaman dan implementasi guru, integrasi dengan sistem penilaian, ketersediaan waktu dan sumber daya.
AI Pinter, Singer (GPW); Bernalar Kritis, Kreatif, Mandiri (PPP); Kompetensi KMB. Platform pembelajaran adaptif untuk materi akademis, sistem tutor cerdas, penilaian otomatis untuk tugas terstruktur. Sistem rekomendasi di platform belajar, prediksi hasil belajar siswa. 4 Biaya, infrastruktur, SDM, bias algoritma, keamanan data.
AI Berbasis Kearifan Lokal Bageur, Bener, Pinter, Singer (GPW); Beriman & Bertakwa, Gotong Royong, Berkebinekaan Global (PPP). Aplikasi belajar Bahasa Sunda interaktif, simulasi budaya, analisis sentimen teks siswa terkait nilai GPW (konsep “Algoritma Empati”), pengembangan konten digital budaya. Visi “Deep Learning Berbasis Kearifan Lokal” 20: geometri via motif Kawung, algoritma empati dari peribahasa Sunda. Kompleksitas pengembangan, validitas interpretasi budaya oleh AI, risiko simplifikasi budaya, isu kepemilikan data budaya.
AI untuk Inklusivitas Cageur (kesehatan mental & aksesibilitas); Mendukung semua siswa mencapai nilai GPW & PPP. Teknologi speech-to-text, text-to-speech, pengenalan objek visual untuk membantu siswa dengan disabilitas. 4 Tersedia di berbagai platform, namun perlu adaptasi dan integrasi ke sistem sekolah. Ketersediaan perangkat, pelatihan guru, privasi data siswa berkebutuhan khusus.
AI untuk Deteksi Dini & Dukungan Cageur, Bageur (kesejahteraan siswa). Analisis data untuk identifikasi siswa berisiko putus sekolah atau mengalami masalah belajar/emosional. 4 Digunakan di beberapa sistem pendidikan maju. Akurasi prediksi, risiko labeling, intervensi yang tepat dan etis, privasi data.

6. Studi Kasus dan Praktik Implementasi di Satuan Pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK)

Implementasi kebijakan pendidikan, betapapun idealnya dirancang, pada akhirnya akan diuji di tingkat satuan pendidikan. Di Jawa Barat, upaya untuk mewujudkan Gapura Panca Waluya (GPW) dan mengadopsi Kurikulum Merdeka Belajar (KMB), serta inisiatif awal pemanfaatan “deep learning” pedagogis, telah mulai terlihat dalam berbagai praktik di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK.

Contoh Konkret Penerapan GPW dan KMB di Berbagai Jenjang

Kebijakan umum yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat terkait GPW, seperti larangan wisuda dan study tour berbayar, implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), anjuran membawa bekal dari rumah, larangan penggunaan kendaraan bermotor bagi siswa di bawah umur, serta penguatan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler (Pramuka, Paskibra, PMR), berlaku secara menyeluruh untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah.10

  • Di tingkat Sekolah Dasar (SD): Fokus utama penerapan GPW adalah melalui pembiasaan nilai-nilai luhur dalam kegiatan sehari-hari. Ini bisa diwujudkan melalui integrasi permainan tradisional Sunda yang mengandung unsur kerjasama dan sportivitas, pengenalan budaya lokal melalui cerita atau kunjungan ke tempat bersejarah (jika tidak memberatkan), serta penanaman adab dan sopan santun dalam interaksi. Implementasi KMB di SD dilakukan melalui pembelajaran tematik dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). P5 di SD dapat mengangkat tema-tema kearifan lokal yang sederhana namun bermakna, seperti kegiatan “Pasar Krempyeng” yang pernah dilakukan di SD Negeri Baluwarti Yogyakarta 22 dapat menjadi inspirasi (meskipun bukan di Jawa Barat, ini menunjukkan model P5 berbasis kearifan lokal yang relevan). Praktik baik implementasi GPW di SD juga dapat mengadopsi model “Daerah Edndure” yang bertujuan mengukuhkan Budaya Sunda 5.0 melalui lima pilar: Wicara (literasi multibahasa dan kecakapan digital), Wiyata (kurikulum adaptif yang relevan), Wira (pengembangan jiwa kewirausahaan sosial), Wahana (penciptaan ruang kolaborasi), dan Waluya (pencapaian kesejahteraan holistik).23

  • Di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP): Penguatan pemahaman dan internalisasi nilai-nilai GPW dilakukan melalui metode yang lebih analitis dan partisipatif, seperti diskusi kelompok, pelaksanaan proyek-proyek sosial yang berdampak bagi lingkungan sekitar, dan integrasi nilai-nilai GPW secara eksplisit dalam berbagai mata pelajaran. P5 di SMP dapat dirancang dengan kompleksitas yang lebih tinggi, misalnya, siswa dapat diminta merancang solusi untuk masalah lingkungan di sekitar sekolah dengan mendasarkan pada nilai-nilai GPW seperti Cageur (lingkungan sehat) dan Bageur (kepedulian sosial). Salah satu contoh yang disebutkan adalah pengembangan portofolio cinta digital yang mencatat proyek gotong-royong dan refleksi empati siswa.24 Kebijakan pembinaan khusus bagi siswa yang dianggap “bermasalah” dengan pendekatan yang melibatkan disiplin ala militer juga diterapkan di tingkat ini. Meskipun mendapat apresiasi dari sebagian orang tua yang melihat perubahan positif pada anak mereka 25, pendekatan ini juga menuai kritik terkait potensi labeling dan efektivitas jangka panjangnya.13

  • Di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): Internalisasi nilai-nilai GPW di jenjang ini lebih ditekankan melalui pengembangan kepemimpinan siswa, partisipasi dalam proyek kewirausahaan sosial yang nyata, dan kemampuan untuk melakukan kajian kritis terhadap budaya serta isu-isu kontemporer. KMB di SMA/SMK memberikan fleksibilitas bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka, yang dapat diarahkan untuk mendalami aspek-aspek budaya Sunda secara lebih mendalam atau mempelajari teknologi yang dapat mendukung pelestarian dan pengembangan budaya tersebut. Integrasi nilai-nilai GPW dalam pembelajaran di SMA/SMK tidak hanya terbatas pada mata pelajaran Bahasa Sunda, tetapi juga diwujudkan dalam konteks pendidikan holistik yang menekankan keseimbangan antara pengembangan aspek jasmani, rohani, dan intelektual siswa.1

Inisiatif Pemanfaatan “Deep Learning” (Pendekatan Pedagogis)

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memulai inisiatif untuk mengimplementasikan “deep learning” sebagai pendekatan pedagogis di sekolah-sekolah. Salah satu contoh yang menonjol adalah di SMAN Situraja, Kabupaten Sumedang, beserta beberapa sekolah lain di sekitarnya.6 Pendekatan ini didasarkan pada tiga pilar utama: pembelajaran yang berkesadaran (mindfull learning), pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning). Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat secara langsung melakukan monitoring terhadap implementasi ini, yang menunjukkan keseriusan Pemprov dalam mengadopsi pendekatan baru ini. Pemahaman mengenai konsep “deep learning” pedagogis ini tidak hanya diberikan kepada siswa, tetapi juga kepada kepala sekolah dan para guru. Inisiatif ini merupakan bagian dari upaya Jawa Barat untuk menjadi yang terdepan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran inovatif sambil menunggu hasil kajian lebih lanjut mengenai Kurikulum Merdeka secara nasional.6 Hingga saat ini, belum tersedia laporan detail mengenai hasil spesifik atau dampak yang terukur secara kuantitatif dari implementasi di SMAN Situraja, selain observasi awal dari pejabat terkait yang menyatakan bahwa siswa “sudah mulai paham” mengenai esensi pendekatan tersebut.6

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang Mengintegrasikan Nilai GPW

P5 memegang peranan sentral sebagai wahana untuk mengkonkretkan dan mengintegrasikan nilai-nilai GPW dengan dimensi-dimensi Profil Pelajar Pancasila dalam kerangka KMB. Berbagai sekolah di Jawa Barat diharapkan dapat merancang proyek-proyek P5 yang kreatif dan kontekstual. Sebagai contoh, dapat diadakan sebuah festival inovasi bertema “Gapura Panca Waluya” yang menantang tim siswa dari berbagai sekolah untuk berkolaborasi merancang aplikasi pariwisata berbasis Augmented Reality (AR) untuk situs budaya lokal, seperti Taman Sri Baduga. Proyek semacam ini tidak hanya akan mengasah aspek “Pinter” (kecerdasan teknologi) dan “Singer” (kreativitas, keterampilan) dari GPW, tetapi juga menanamkan apresiasi terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah lokal.24

Lebih lanjut, kegiatan-kegiatan seperti pengelolaan sampah mandiri di sekolah, pengembangan pertanian organik di lahan sekolah, atau proyek sosial yang bertujuan membantu masyarakat sekitar, yang juga sejalan dengan alternatif pengganti study tour sebagaimana diamanatkan dalam SE Gubernur 9, dapat dirancang sebagai proyek P5. Proyek-proyek semacam ini secara langsung mengamalkan nilai “Cageur” (lingkungan sehat), “Bageur” (kepedulian dan kontribusi sosial), dan “Singer” (keterampilan praktis). Selain itu, upaya internalisasi kearifan Sunda dalam rangka memperkuat PPP juga dapat dilakukan melalui gerakan literasi di berbagai satuan pendidikan, termasuk madrasah, dengan mengangkat teks-teks atau cerita rakyat Sunda yang kaya akan nilai moral.28

Meskipun implementasi GPW melalui SE Gubernur cenderung diterapkan secara seragam di semua jenjang pendidikan, penting untuk disadari bahwa kebutuhan perkembangan psikologis siswa SD, SMP, dan SMA/SMK sangatlah berbeda. Pendekatan dan metode internalisasi nilai-nilai GPW yang efektif untuk siswa SD, yang masih dalam tahap berpikir konkret dan belajar melalui bermain, tentu akan berbeda dengan pendekatan untuk siswa SMA/SMK yang sudah mampu berpikir abstrak dan kritis. Oleh karena itu, penyesuaian pendekatan dan metode menjadi krusial di setiap jenjang. Misalnya, penanaman nilai “disiplin” yang merupakan bagian dari penguatan karakter, perlu diterjemahkan secara berbeda untuk anak SD (misalnya melalui pembiasaan rutinitas dan aturan main yang jelas) dibandingkan dengan anak SMA (misalnya melalui tanggung jawab dalam mengelola proyek atau kegiatan organisasi). Diperlukan panduan implementasi GPW yang lebih spesifik per jenjang pendidikan, yang mempertimbangkan tahap perkembangan kognitif, sosial, dan emosional siswa. Guru di setiap jenjang perlu dibekali dengan pelatihan mengenai metode-metode pedagogis yang sesuai untuk menanamkan nilai-nilai GPW secara efektif dan relevan.

Meskipun terdapat contoh-contoh praktik baik P5 yang berhasil mengintegrasikan kearifan lokal dan nilai-nilai GPW 22, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan kualitas dan kedalaman pelaksanaan P5 di seluruh sekolah di Jawa Barat. Ada risiko bahwa P5 hanya akan menjadi sekadar kegiatan formalitas untuk memenuhi tuntutan kurikulum, tanpa benar-benar memberikan dampak pembelajaran yang mendalam bagi siswa, terutama jika guru kurang memiliki kesiapan, kreativitas, atau sumber daya yang memadai. Oleh karena itu, investasi dalam pengembangan kapasitas guru untuk menjadi fasilitator P5 yang efektif sangatlah penting. Penyediaan contoh-contoh modul P5 yang berkualitas dan telah terintegrasi dengan nilai-nilai GPW, serta pengembangan mekanisme monitoring dan evaluasi P5 yang tidak hanya fokus pada produk akhir tetapi juga pada proses pembelajaran dan dampak yang dirasakan siswa, menjadi langkah-langkah strategis yang perlu diambil.

Studi kasus implementasi “deep learning” pedagogis di SMAN Situraja 7 menunjukkan langkah awal yang positif dari Pemprov Jabar. Namun, keberlanjutan dan penyebaran pendekatan ini ke sekolah-sekolah lain akan sangat bergantung pada adanya dukungan sistemik yang kuat. Ini mencakup bagaimana pendekatan pembelajaran yang mindfull, meaningfull, dan joyfull ini dapat terhubung secara sinergis dengan sistem penilaian siswa yang berlaku, serta bagaimana ia diintegrasikan ke dalam program pengembangan profesional guru secara berkelanjutan. Jika sistem asesmen masih terlalu berorientasi pada hafalan dan penguasaan konten secara dangkal, maka upaya untuk menerapkan “deep learning” pedagogis yang menekankan pemahaman mendalam akan menghadapi kendala signifikan. Oleh karena itu, perlu ada penyesuaian dalam sistem asesmen agar selaras dengan tujuan “deep learning” pedagogis. Selain itu, pelatihan guru harus bersifat berkelanjutan dan mampu membentuk komunitas belajar profesional di mana para guru dapat saling berbagi praktik baik dan mengatasi tantangan implementasi bersama-sama.

7. Analisis Kritis: Peluang, Tantangan, dan Respon Publik

Setiap kebijakan pendidikan, termasuk Gapura Panca Waluya (GPW) dan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) serta inisiatif deep learning di Jawa Barat, membawa serta serangkaian peluang, tantangan, dan beragam respon dari publik serta pemangku kepentingan. Analisis kritis terhadap aspek-aspek ini penting untuk memahami efektivitas kebijakan dan merumuskan langkah perbaikan ke depan.

Evaluasi terhadap Efektivitas dan Dampak Kebijakan GPW

Kebijakan GPW, yang berlandaskan pada Surat Edaran Gubernur, memiliki sejumlah aspek positif dan peluang yang patut diapresiasi. Pertama, GPW menawarkan penguatan pendidikan karakter yang berakar kuat pada kearifan lokal budaya Sunda, yang kaya akan nilai-nilai luhur.1 Ini memberikan fondasi yang kokoh untuk membentuk identitas dan moralitas siswa. Kedua, terdapat potensi sinergi yang besar antara nilai-nilai GPW dengan Profil Pelajar Pancasila dalam KMB, yang memungkinkan pengayaan kurikulum nasional dengan konteks lokal.16 Ketiga, beberapa poin kebijakan GPW, seperti larangan wisuda dan study tour yang memberatkan secara finansial, mendapat apresiasi dari sebagian orang tua karena dianggap mengurangi beban ekonomi keluarga.21 Keempat, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diamanatkan dalam GPW berpotensi meningkatkan status kesehatan dan konsentrasi belajar siswa, yang merupakan perwujudan nilai “Cageur”.12 Kelima, penekanan pada gaya hidup sehat (seperti anjuran berjalan kaki ke sekolah dan membawa bekal) serta penanaman disiplin melalui berbagai kegiatan juga merupakan dampak positif yang diharapkan.10

Namun, di sisi lain, beberapa aspek kebijakan GPW juga bersifat kontroversial dan menghadapi tantangan dalam implementasinya.10

  • Larangan Wisuda dan Study Tour: Meskipun bertujuan baik untuk mengurangi beban biaya dan fokus pada esensi pendidikan, kebijakan ini dikritik oleh sebagian pihak, termasuk siswa, yang merasa kehilangan momen penting dan kenangan berharga. Gubernur Dedi Mulyadi menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa kenangan indah terbentuk selama proses belajar, bukan hanya pada seremoni.13 Ada juga kekhawatiran mengenai dampak pada sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang selama ini mungkin mendapat manfaat dari kegiatan sekolah tersebut.
  • Pembinaan Khusus Siswa “Bermasalah” dengan Pendekatan Semi-Militer: Kebijakan ini menuai pro dan kontra yang cukup tajam. Sebagian orang tua melaporkan adanya perubahan perilaku positif pada anak mereka setelah mengikuti program pembinaan ini.25 Namun, para kritikus, termasuk dari kalangan psikolog dan pendidik, berpendapat bahwa pendekatan ini tidak menjawab akar permasalahan yang mungkin kompleks (misalnya, masalah ekonomi keluarga, lingkungan sosial yang tidak mendukung, atau kebutuhan psikologis anak yang belum terpenuhi). Ada kekhawatiran bahwa pendekatan ini melakukan generalisasi terhadap masalah siswa dan menggunakan labeling “anak nakal” yang tidak konstruktif.14 Lebih jauh, muncul pula analisis yang mengkhawatirkan potensi militerisasi dalam ranah sipil, khususnya pendidikan.13
  • Pendekatan Top-Down: Sifat instruktif dari Surat Edaran Gubernur dalam mengimplementasikan GPW berpotensi menghambat partisipasi aktif dan rasa kepemilikan dari tingkat sekolah dan masyarakat. Kebijakan yang dirasakan terlalu direktif dapat mengurangi ruang inovasi dan adaptasi lokal yang justru diamanatkan oleh semangat KMB.
  • Indikator Keberhasilan GPW: Salah satu kritik yang muncul adalah belum jelasnya indikator keberhasilan program GPW secara komprehensif, terutama untuk mengukur internalisasi nilai-nilai karakter yang bersifat kualitatif dan kompleks.14 Tanpa indikator yang jelas, evaluasi efektivitas program menjadi sulit dilakukan.
  • Efektivitas Jangka Panjang: Pertanyaan juga muncul mengenai apakah perubahan perilaku yang mungkin terlihat dari program pembinaan khusus bersifat permanen atau hanya sementara, serta apakah program tersebut benar-benar menyentuh perubahan pola pikir dan sistem nilai siswa secara mendalam.

Tantangan dalam Implementasi KMB dan Deep Learning (Pedagogis & AI)

Implementasi KMB juga menghadapi tantangannya sendiri. Pertama, kesiapan dan kapasitas guru untuk benar-benar “merdeka” dalam mengajar, merancang pembelajaran yang inovatif, dan mengembangkan kurikulum operasional satuan pendidikan yang kontekstual masih menjadi isu utama.3 Kedua, kesenjangan kualitas pendidikan antar sekolah dan antar wilayah di Jawa Barat masih cukup signifikan, yang dapat mempengaruhi efektivitas implementasi KMB secara merata. Ketiga, memastikan bahwa Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) berjalan secara substantif dan memberikan dampak pembelajaran yang mendalam, bukan sekadar menjadi kegiatan formalitas untuk memenuhi tuntutan kurikulum, memerlukan upaya pendampingan dan pengawasan yang berkelanjutan.

Untuk “deep learning” pedagogis, tantangan utamanya adalah memastikan adanya pemahaman yang seragam dan mendalam mengenai konsep pembelajaran yang mindfull, meaningfull, dan joyfull di kalangan seluruh guru.7 Selain itu, mengintegrasikan pendekatan ini ke dalam rutinitas kelas sehari-hari dan sistem penilaian yang ada juga memerlukan perubahan paradigma dan praktik yang tidak mudah.

Sementara itu, untuk implementasi deep learning berbasis AI, tantangannya lebih bersifat struktural dan teknis 4:

  • Keterbatasan infrastruktur teknologi, seperti akses internet yang stabil dan perangkat keras yang memadai, terutama di daerah-daerah terpencil.
  • Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki pemahaman dan keahlian dalam bidang AI dan data science di sektor pendidikan.
  • Isu privasi dan keamanan data siswa yang sangat krusial, mengingat sistem AI memerlukan akses ke sejumlah besar data pribadi.
  • Biaya awal implementasi sistem AI yang bisa jadi cukup tinggi, baik untuk pengadaan perangkat lunak maupun perangkat keras.
  • Potensi bias dalam algoritma AI, yang dapat melanggengkan ketidaksetaraan, serta risiko dehumanisasi proses pendidikan jika teknologi tidak digunakan secara bijak dan beretika.

Respon Publik dan Pemangku Kepentingan

Respon publik terhadap kebijakan GPW cukup beragam. Terdapat dukungan, terutama dari kalangan orang tua yang merasa terbantu dengan kebijakan yang mengurangi beban biaya sekolah, seperti larangan wisuda dan study tour berbayar.21 Apresiasi juga datang terhadap upaya pemerintah untuk membentuk karakter siswa melalui berbagai program.25

Namun, kritik juga tidak sedikit. Sebagaimana telah disebutkan, larangan wisuda dan study tour menuai protes dari sebagian siswa dan pihak terkait.13 Pendekatan pembinaan siswa “bermasalah” menjadi salah satu poin yang paling banyak dikritisi, dengan pertanyaan mengenai efektivitas, pendekatan yang digunakan, dan potensi dampak negatifnya.14 Berbagai kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi, termasuk yang terkait GPW, seringkali menjadi sorotan media dan memicu diskusi publik yang luas, baik yang bernada mendukung maupun kritis.

Kontroversi yang muncul seputar beberapa aspek kebijakan GPW, seperti larangan wisuda atau metode pembinaan siswa yang dianggap militeristik, sejatinya menunjukkan adanya kemungkinan benturan antara niat baik pemerintah (misalnya, untuk efisiensi anggaran atau penanaman disiplin) dengan persepsi, harapan, dan kebutuhan yang beragam dari masyarakat. Hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya proses komunikasi kebijakan yang lebih empatik dan pelibatan publik yang lebih substantif sebelum sebuah kebijakan diterapkan secara luas. Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu mengembangkan mekanisme umpan balik (feedback) yang lebih responsif dan transparan terhadap masukan dan kritik dari masyarakat. Untuk kebijakan-kebijakan yang berpotensi sensitif atau berdampak luas, melakukan uji coba terbatas dengan evaluasi yang mendalam dan partisipatif mungkin merupakan pendekatan yang lebih bijaksana daripada implementasi serentak secara masif. Dialog yang konstruktif dengan berbagai kelompok masyarakat—termasuk siswa, orang tua, pakar pendidikan, psikolog anak, dan organisasi masyarakat sipil—menjadi sangat penting untuk membangun pemahaman bersama dan dukungan publik.

Tantangan terbesar dalam implementasi KMB dan deep learning (baik pedagogis maupun AI) di Jawa Barat, sebagaimana juga dialami oleh banyak daerah lain di Indonesia, adalah kesenjangan kapasitas. Kesenjangan ini mencakup kapasitas guru dalam mengadopsi paradigma dan metode pembelajaran baru, kapasitas sekolah dalam mengelola perubahan dan menyediakan sumber daya pendukung, serta ketersediaan infrastruktur teknologi yang merata. Tanpa strategi yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatasi kesenjangan kapasitas ini, inisiatif-inisiatif pendidikan sebagus apapun berisiko hanya akan berhasil diimplementasikan secara optimal di sekolah-sekolah tertentu, biasanya yang berlokasi di perkotaan atau yang sudah memiliki sumber daya lebih mapan. Akibatnya, alih-alih mempersempit, kebijakan tersebut justru berpotensi memperlebar jurang kualitas pendidikan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu menyusun peta jalan peningkatan kapasitas yang terukur, berjangka, dan didukung oleh alokasi sumber daya yang adil, dengan fokus khusus pada daerah-daerah dan sekolah-sekolah yang paling membutuhkan. Program pelatihan guru harus dirancang agar berkualitas tinggi, berkelanjutan, dan disertai dengan pendampingan intensif di lapangan. Pemanfaatan teknologi untuk pelatihan jarak jauh dan pembentukan komunitas belajar profesional antar guru juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi kendala geografis dan skala.

Salah satu aspek GPW yang patut mendapat perhatian khusus adalah fokus pada nilai “Cageur” (sehat), yang diimplementasikan antara lain melalui program MBG dan anjuran membawa bekal sehat dari rumah.10 Ini adalah langkah yang sangat positif dan berpotensi memberikan dampak sistemik tidak hanya pada kesehatan fisik siswa, tetapi juga pada kesiapan dan kemampuan mereka untuk belajar. Siswa yang sehat dan bergizi baik cenderung memiliki konsentrasi dan daya tangkap yang lebih baik. Namun, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada dua faktor utama: ketersediaan anggaran yang berkelanjutan dari pemerintah untuk program MBG, dan perubahan perilaku serta kesadaran orang tua dalam menyiapkan bekal yang sehat dan bergizi bagi anak-anak mereka. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu memastikan adanya alokasi anggaran yang stabil dan memadai untuk MBG. Selain itu, kampanye publik yang masif, kreatif, dan berkelanjutan mengenai pentingnya gizi seimbang dan manfaat membawa bekal sehat perlu digalakkan, dengan melibatkan berbagai pihak seperti Tim Penggerak PKK, Posyandu, komite sekolah, dan komunitas orang tua.

8. Kesimpulan dan Rekomendasi Progresif

Analisis terhadap implementasi Gapura Panca Waluya (GPW), Kurikulum Merdeka Belajar (KMB), dan potensi deep learning dalam sistem pendidikan di Jawa Barat menunjukkan sebuah lanskap yang dinamis, penuh peluang, sekaligus sarat tantangan. Harmonisasi antara kearifan lokal, kebijakan nasional, dan inovasi teknologi menjadi kunci untuk mewujudkan transformasi pendidikan yang substantif dan berkelanjutan.

Sintesis Temuan Utama

Gapura Panca Waluya (GPW) hadir sebagai inisiatif kebijakan pendidikan karakter yang kuat, berakar pada nilai-nilai luhur budaya Sunda (Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer). GPW memiliki potensi besar untuk memperkaya dan mengkontekstualisasikan Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) di Jawa Barat, terutama dalam pencapaian Profil Pelajar Pancasila. Sembilan langkah strategis yang diamanatkan melalui Surat Edaran Gubernur menunjukkan komitmen untuk implementasi yang komprehensif, meskipun beberapa aspeknya (seperti larangan wisuda/studi tur dan pembinaan siswa “bermasalah”) bersifat kontroversial dan memerlukan pendekatan yang lebih dialogis serta evaluatif.

Kurikulum Merdeka Belajar (KMB), dengan prinsip fleksibilitas, fokus pada kompetensi esensial, dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), menyediakan ruang yang ideal bagi integrasi nilai-nilai GPW. Namun, keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada kapasitas guru dan sekolah dalam menerjemahkan kedua kerangka kerja tersebut menjadi praktik pembelajaran yang bermakna. Kritik terhadap KMB yang dianggap kurang menekankan aspek budaya justru memperkuat relevansi GPW sebagai pengisi kekosongan tersebut di konteks Jawa Barat.

Sementara itu, “deep learning” dalam konteks Jawa Barat saat ini lebih dipahami sebagai pendekatan pedagogis yang menekankan pembelajaran mendalam, bermakna, dan menyenangkan, sebagaimana diimplementasikan di SMAN Situraja Sumedang dan sekolah lainnya. Ini merupakan langkah awal yang positif. Visi mengenai “deep learning” berbasis AI yang diintegrasikan dengan kearifan lokal, seperti konsep “Algoritma Empati”, menawarkan masa depan yang menjanjikan namun memerlukan peta jalan pengembangan yang jelas, termasuk penanganan isu etika, infrastruktur, dan sumber daya manusia.

Tantangan utama yang dihadapi mencakup potensi beban ganda bagi sekolah, kesenjangan kapasitas guru dan infrastruktur, resistensi terhadap kebijakan yang bersifat top-down, serta kebutuhan akan indikator keberhasilan yang jelas dan mekanisme evaluasi yang partisipatif. Respon publik yang beragam menunjukkan perlunya komunikasi kebijakan yang lebih baik dan pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas.

Rekomendasi Kebijakan untuk Optimalisasi Sinergi GPW, KMB, dan Deep Learning

Untuk mengoptimalkan sinergi antara GPW, KMB, dan deep learning, serta mengatasi tantangan yang ada, diperlukan langkah-langkah strategis dan kolaboratif dari berbagai pihak:

  • Untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat & Dinas Pendidikan:

    1. Panduan Integrasi Holistik: Mengembangkan dan menyosialisasikan panduan teknis yang detail namun tetap fleksibel mengenai cara mengintegrasikan nilai-nilai GPW ke dalam seluruh aspek implementasi KMB. Ini harus mencakup integrasi dalam P5, kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan pembentukan budaya sekolah secara keseluruhan di semua jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA/SMK), bukan hanya menjadikannya sebagai muatan lokal yang terpisah.
    2. Pengembangan Kapasitas Guru Berkelanjutan: Menginvestasikan sumber daya secara signifikan dalam program pelatihan dan pendampingan guru yang berkualitas tinggi dan berkelanjutan. Fokus pelatihan harus mencakup pedagogi KMB yang efektif, strategi internalisasi nilai-nilai GPW dalam pembelajaran, fasilitasi P5 yang bermakna dan berdampak, serta peningkatan literasi digital guru (termasuk pengenalan konsep deep learning pedagogis dan potensi AI dalam pendidikan).
    3. Peta Jalan Implementasi Deep Learning (AI): Menyusun peta jalan strategis jangka menengah dan panjang untuk pengembangan dan implementasi deep learning (AI) yang berbasis kearifan lokal. Peta jalan ini harus mencakup aspek riset interdisipliner, pengembangan infrastruktur teknologi secara bertahap dan merata, penyiapan sumber daya manusia (ahli AI pendidikan, data scientist), serta penyusunan kerangka regulasi dan etika yang komprehensif. Memulai dengan proyek percontohan (pilot project) untuk konsep-konsep inovatif seperti “Algoritma Empati” atau pengembangan aplikasi pembelajaran interaktif berbasis budaya Sunda.
    4. Evaluasi Partisipatif dan Responsif: Membangun dan menerapkan mekanisme monitoring dan evaluasi yang bersifat partisipatif untuk implementasi GPW dan KMB. Proses ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan (guru, siswa, orang tua, komite sekolah, pakar pendidikan, komunitas budaya) dan menggunakan hasilnya sebagai dasar untuk perbaikan kebijakan secara berkala dan adaptif. Pemerintah perlu lebih terbuka terhadap kritik dan masukan konstruktif dari publik.
    5. Penguatan Kolaborasi Lintas Sektor: Meningkatkan dan melembagakan kerjasama dengan perguruan tinggi (untuk riset dan pengembangan), komunitas budaya (sebagai sumber kearifan lokal), industri teknologi (untuk pengembangan solusi AI), dan organisasi masyarakat sipil (untuk advokasi dan pendampingan) dalam upaya pengembangan materi ajar inovatif, pelatihan guru yang relevan, dan pelaksanaan riset pendidikan yang berkualitas.
  • Untuk Satuan Pendidikan (Sekolah):

    1. Kepemimpinan Instruksional yang Kuat dan Visioner: Kepala sekolah memegang peran sentral sebagai pemimpin instruksional yang mampu memimpin perubahan, menciptakan budaya sekolah yang kondusif dan mendukung internalisasi nilai-nilai GPW serta prinsip-prinsip KMB, dan memberdayakan seluruh warga sekolah, terutama para guru.
    2. Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) yang Kontekstual dan Kreatif: Memanfaatkan secara optimal fleksibilitas yang diberikan oleh KMB untuk merancang KOSP yang benar-benar mengintegrasikan nilai-nilai GPW, relevan dengan kebutuhan spesifik siswa, dan memanfaatkan potensi serta kearifan lokal yang ada di lingkungan sekitar sekolah.
    3. Komunitas Belajar Profesional (KBP) yang Aktif dan Produktif: Mengaktifkan dan memperkuat KBP di tingkat sekolah sebagai wadah bagi para guru untuk berkolaborasi, berbagi praktik baik, melakukan refleksi bersama, dan secara kolektif memecahkan masalah-masalah yang muncul terkait implementasi GPW, KMB, dan pemanfaatan pendekatan deep learning pedagogis.
  • Saran Langkah Implementatif bagi Pemangku Kepentingan Lainnya:

    • Orang Tua: Berperan aktif sebagai mitra sekolah dalam mendukung program-program pendidikan, konsisten menanamkan nilai-nilai luhur GPW di lingkungan keluarga, dan terlibat secara konstruktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka.
    • Masyarakat dan Komunitas Budaya: Dapat berperan sebagai sumber belajar yang kaya bagi sekolah, serta menjadi mitra dalam upaya mengenalkan, melestarikan, dan mengembangkan kearifan lokal Sunda kepada generasi muda.

Penutup

Transformasi pendidikan di Jawa Barat menuju terwujudnya generasi yang Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer adalah sebuah perjalanan panjang yang memerlukan visi, komitmen, kolaborasi, dan kerja keras dari semua pihak. Harmonisasi antara kearifan lokal GPW, kerangka nasional KMB, dan inovasi teknologi deep learning menawarkan sebuah jalan yang menjanjikan. Dengan perencanaan yang matang, implementasi yang cermat, evaluasi yang berkelanjutan, dan semangat untuk terus belajar dan beradaptasi, cita-cita luhur untuk pendidikan Jawa Barat yang berkualitas, berkarakter, dan berdaya saing global dapat diwujudkan.

Keywords : , , , , , , , , , , ,