Guru di Era Kurikulum Merdeka dan Deep Learning
Lanskap pendidikan di Indonesia terus berevolusi, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas unggul dan berdaya saing tinggi di tengah tantangan global era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.1 Tahun 2025 menandai periode krusial di mana berbagai inisiatif strategis, seperti implementasi Kurikulum Merdeka dan integrasi teknologi canggih, mulai menunjukkan dampak yang mendalam pada sistem pendidikan nasional. Perubahan ini bukan sekadar penyesuaian kurikulum atau adopsi teknologi baru; ini adalah pergeseran paradigma yang fundamental. Sistem pendidikan bergerak menuju ekosistem pembelajaran yang lebih adaptif dan relevan, menjauh dari pendekatan hafalan semata menuju pengembangan kompetensi holistik seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi kompleksitas masa depan.
Profesi Guru di Tahun 2025: Evolusi Peran dan Kompetensi Baru
Di tengah transformasi ini, peran guru menjadi semakin sentral. Guru adalah komponen penting dalam pendidikan dan merupakan pendidik profesional yang memiliki tuntutan untuk membimbing, mendidik, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.3 Mereka tidak lagi hanya berfungsi sebagai penyampai materi, tetapi telah bertransformasi menjadi penggerak, fasilitator, motivator, dan inovator pembelajaran.3
Artikel ini akan mengupas secara mendalam bagaimana Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan dan fleksibilitas yang memungkinkan guru berinovasi.1 Selanjutnya, akan dijelaskan bagaimana deep learning (baik sebagai konsep pedagogis maupun teknologi kecerdasan buatan) menjadi katalisator personalisasi dan efisiensi pembelajaran.2 Terakhir, artikel ini akan membahas strategi praktis yang dapat diterapkan guru dalam menghadapi tantangan siswa yang asyik dengan gawai.14
Dari Pengajar ke Fasilitator, Motivator, dan Inovator Pembelajaran
Peran tradisional guru sebagai penyampai pengetahuan telah mengalami pergeseran yang signifikan. Di tahun 2025, guru diharapkan menjadi fasilitator yang membantu peserta didik memanfaatkan beragam sumber belajar, termasuk teknologi.3 Pergeseran ini terjadi karena di era digital, informasi sangat melimpah dan mudah diakses oleh siswa melalui internet. Oleh karena itu, nilai utama seorang guru tidak lagi terletak pada penyampaian informasi, melainkan pada kemampuan mereka untuk membimbing siswa dalam memproses informasi, berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkreasi. Ini menuntut perubahan mendasar dalam pola pikir dan pendekatan pengajaran.
Guru juga harus menjadi motivator dengan mengaitkan pembelajaran dengan kegiatan yang disukai siswa.4 Selain itu, mereka dituntut menjadi inovator yang mampu mendesain pembelajaran yang kreatif dan inovatif.3 Secara keseluruhan, guru di era digital dituntut untuk lebih aktif, kritis, inovatif, kreatif, dan kolaboratif.3 Mereka memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendorong kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan masalah di antara siswa.17
Peningkatan Profesionalisme Guru: Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025 dan Pengembangan Berkelanjutan
Pemerintah terus berupaya meningkatkan mutu dan profesionalisme guru melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG bagi Guru Tertentu 2025 merupakan inisiatif penting yang ditujukan bagi guru yang belum memiliki sertifikat pendidik, termasuk guru penggerak, guru yang telah menyelesaikan pelatihan namun belum bersertifikat, dan guru dari jabatan fungsional lain.18
PPG 2025 membawa revolusi dengan penambahan materi baru yang relevan dengan kebutuhan pendidikan modern. Materi tersebut mencakup Bimbingan Konseling, yang bertujuan memberikan keterampilan tambahan kepada calon guru untuk memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada siswa, serta Pendidikan Penilaian, yang berfokus pada pengembangan keterampilan dalam melakukan penilaian yang adil dan objektif terhadap hasil belajar siswa.19 Penambahan materi ini menunjukkan pengakuan bahwa peran guru kini lebih holistik, tidak hanya terbatas pada aspek akademik. Ini merupakan investasi dalam aspek kemanusiaan dari pengajaran, menyadari bahwa teknologi saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan siswa yang semakin kompleks di era digital, di mana kesejahteraan emosional dan penilaian yang nuansa sama pentingnya dengan konten akademik.
Pelaksanaan PPG 2025 akan beralih ke sistem offline untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam dan interaktif, memungkinkan interaksi langsung dengan pengajar dan kolaborasi sesama peserta didik.19 Meskipun demikian, terdapat juga fleksibilitas dalam pembelajaran mandiri, dengan hanya Uji Kompetensi PPG (UKPPPG) yang terjadwal.20 Pendekatan multi-aspek ini menunjukkan bahwa pemerintah memahami kompleksitas kebutuhan siswa di era digital, di mana kesejahteraan emosional, penilaian yang nuansa, dan pembelajaran yang adaptif sangat penting.
Peningkatan profesionalisme guru juga sangat ditekankan melalui pengembangan berkelanjutan (continuing professional development).21 Guru diharapkan untuk terus belajar dan mengembangkan diri secara otodidak, mengikuti pelatihan, dan berpartisipasi dalam komunitas online untuk tetap relevan dengan perkembangan teknologi dan metodologi pengajaran.9
Keterampilan Esensial Guru di Era Digital: Literasi Teknologi, Kreativitas, dan Kolaborasi
Guru di era digital wajib menguasai dan memanfaatkan teknologi dalam mendesain pembelajaran yang inovatif dan kreatif.3 Ini mencakup kemampuan untuk membuat video pembelajaran dan presentasi interaktif menggunakan alat seperti Canva dan Prezi.17 Kemampuan ini bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga keterampilan kognitif dan sosial tingkat tinggi yang menunjukkan bagaimana teknologi dapat diterapkan untuk memecahkan masalah dan menghasilkan ide-ide baru.
Keterampilan digital menjadi prasyarat, termasuk kemampuan menciptakan lingkungan belajar berbasis teknologi dan terus mengembangkan diri melalui pelatihan dan sumber daya digital.5 Kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan untuk memanfaatkan teknologi guna memudahkan proses pembelajaran.17 Selain itu, kolaborasi tidak hanya dengan siswa tetapi juga dengan sesama guru, berbagi pemikiran dan belajar melalui pelatihan, menjadi sangat penting.17
Guru juga harus memiliki kemampuan untuk menghasilkan karya ilmiah atau buku, bukan hanya mengunduh materi. Hal ini menunjukkan komitmen terhadap pengembangan keilmuan dan kontribusi aktif dalam membentuk praktik pendidikan.3 Penekanan pada keterampilan ini menunjukkan bahwa guru perlu menjadi pembelajar seumur hidup yang proaktif, terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka, dan secara aktif berpartisipasi dalam membentuk praktik pendidikan, bukan hanya menerima arahan secara pasif. Ini mengubah mereka menjadi agen perubahan dalam sistem pendidikan.
Tabel 1: Perbandingan Peran Guru Tradisional vs. Guru di Era Digital 2025
Aspek | Guru Tradisional | Guru 2025 (Era Digital) |
Fokus Utama | Transfer Pengetahuan | Pengembangan Kompetensi Holistik & Karakter |
Peran Utama | Pengajar/Penceramah | Fasilitator, Motivator, Inovator, Kolaborator |
Metode Pengajaran | Ceramah, Hafalan | Berpusat pada Siswa, Berbasis Proyek, Diferensiasi, Integrasi Teknologi |
Hubungan dengan Siswa | Otoritatif | Mitra Belajar |
Keterampilan Esensial | Kompetensi Subjek | Literasi Teknologi, Kreativitas, Berpikir Kritis, Kolaborasi, Bimbingan Konseling, Penilaian Objektif |
Pengembangan Profesional | Pelatihan Terbatas | Pengembangan Berkelanjutan (PPG, Mandiri, Komunitas) |
Kurikulum Merdeka: Fondasi Pembelajaran yang Fleksibel dan Berpusat pada Siswa
Kurikulum Merdeka (KM) diluncurkan pada tahun 2022 sebagai kurikulum nasional yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. KM memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada guru, siswa, dan masyarakat untuk menciptakan konten dan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan kreatif.4 Tujuan utamanya adalah menumbuhkan minat dan keterampilan anak sejak dini, menitikberatkan pada materi esensial, pengembangan karakter, dan kompetensi siswa.6 Hal ini sejalan dengan tuntutan pendidikan abad ke-21 dan persiapan menghadapi tantangan global.1
Prinsip dan Tujuan Kurikulum Merdeka: Kebebasan, Fleksibilitas, dan Penguatan Profil Pelajar Pancasila
KM secara khusus berfokus pada pengembangan soft skills dan karakteristik peserta didik melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).1 P5 mencakup enam dimensi kunci: Beriman, Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia; Berkebinekaan Global; Bergotong Royong; Mandiri; Bernalar Kritis; dan Kreatif.22 Prinsip pembelajaran KM meliputi pembelajaran Intrakurikuler yang terdiferensiasi, Kokurikuler yang berwujud P5, dan Ekstrakurikuler yang disesuaikan dengan minat siswa.1 Struktur KM didasarkan pada kompetensi, fleksibilitas, dan karakter Pancasila, dengan prinsip otonomi bagi satuan pendidikan dan guru dalam merancang proses dan materi pembelajaran yang relevan dan kontekstual.1
Otonomi ini secara langsung berlawanan dengan kurikulum yang lebih kaku dan terpusat. Ketika guru memiliki kebebasan untuk memilih format, pengalaman, dan pengetahuan yang diperlukan, mereka dapat menyesuaikan pembelajaran dengan minat siswa dan konteks lokal.4 Pemberdayaan ini mendorong kepemilikan dan kreativitas guru yang lebih besar, menghasilkan pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna bagi siswa. Ini menandakan pergeseran dari penyampaian standar menuju pendidikan yang dipersonalisasi dan dilokalisasi, sebuah aspek krusial untuk motivasi siswa dan hasil pembelajaran yang mendalam.
Implikasi Kurikulum Merdeka terhadap Perencanaan dan Praktik Pengajaran Guru
Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, guru memiliki kebebasan yang lebih besar dalam memilih format, pengalaman, dan pengetahuan yang diperlukan, serta menyesuaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran.4 Fleksibilitas ini juga berarti guru tidak merasa tertekan karena mereka dapat menyesuaikan asesmen dengan kebutuhan siswa.6
Perencanaan pembelajaran berbasis proyek (PjBL) menjadi lebih mudah dan inovatif. Guru dapat merencanakan proyek sesuai dengan dimensi dan karakteristik peserta didik, serta memiliki keleluasaan untuk menjalankan proses pembelajaran yang berorientasi proyek.4 Selain itu, setelah melakukan asesmen diagnostik di awal tahun pembelajaran, guru dapat mengelompokkan siswa berdasarkan tingkat kemampuan mereka, sehingga pembelajaran dapat lebih tepat sasaran.1
Kemampuan untuk membedakan dan mempersonalisasi pembelajaran ini memerlukan pemahaman mendalam tentang profil belajar setiap siswa. Oleh karena itu, guru harus berkembang menjadi “desainer pembelajaran” yang canggih, mampu menafsirkan data siswa, menyesuaikan konten dan metode, serta terus mengulang pendekatan mereka. Peran ini melampaui sekadar menyampaikan konten yang telah ditentukan, menjadi aktif dalam menciptakan pengalaman belajar yang dinamis dan responsif terhadap kebutuhan individu siswa.
Pembelajaran Berbasis Proyek dan Diferensiasi: Mendorong Inovasi di Kelas
Kurikulum Merdeka menggunakan basis proyek untuk menguatkan pencapaian Profil Pelajar Pancasila. Proyek-proyek ini dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan pemerintah dan tidak terikat pada konten mata pelajaran spesifik, memberikan keleluasaan bagi pendidik untuk berinovasi.1
Pembelajaran berdiferensiasi dilakukan secara intrakurikuler, memungkinkan siswa mendalami konsep sesuai waktu yang dibutuhkan dan guru memilih perangkat ajar sesuai karakteristik siswa.1 Ini juga berarti memfasilitasi proses pembelajaran sesuai gaya belajar siswa, baik itu visual, auditori, maupun kinestetik.22
Penerapan model pembelajaran inovatif seperti pembelajaran berbasis masalah dan proyek, serta diskusi dan permainan peran, dapat secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa dan mendorong pemikiran kritis.23 Pendekatan ini merupakan respons pedagogis yang disengaja terhadap potensi disengagement yang disebabkan oleh distraksi digital. Dengan menjadikan pembelajaran relevan dengan kehidupan siswa dan melibatkan mereka secara aktif, Kurikulum Merdeka bertujuan untuk membuat pembelajaran secara inheren lebih menarik dan bermakna daripada konsumsi konten digital pasif, sehingga mendorong keterlibatan yang lebih dalam dan pengembangan keterampilan yang substansial.
Deep Learning dan Kecerdasan Buatan: Katalisator Inovasi Pembelajaran
Memahami Konsep Deep Learning dalam Konteks Pedagogi dan AI. Istilah deep learning memiliki dua makna penting dalam konteks pendidikan, yang keduanya saling melengkapi dan berkontribusi pada transformasi pembelajaran.
Pertama, deep learning sebagai konsep pedagogis merujuk pada proses kognitif yang melibatkan penyelarasan tujuan, pemecahan masalah tingkat lanjut, dan penerapan pengetahuan yang ketat.24 Ini adalah pemahaman mendalam tentang pengetahuan yang memungkinkan pelajar memperluas pemikiran, mengembangkan pola pikir sendiri, dan menerapkan pengetahuan ke situasi dunia nyata.11 Konsep ini berbeda dengan shallow learning yang hanya menekankan hafalan dan pemahaman permukaan.11 Dalam konteks pendidikan, deep learning pedagogis mendorong pemahaman mendalam, analisis kritis, dan pemecahan masalah yang kompleks.12
Kedua, deep learning sebagai teknologi kecerdasan buatan (AI) merupakan cabang dari machine learning yang meniru cara kerja otak manusia melalui struktur jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Networks).13 Teknologi ini sangat efisien dalam mengolah data mentah dan mengidentifikasi pola tanpa pengawasan, menjadikannya bagian integral dari ekosistem pendidikan modern yang memberikan berbagai solusi inovatif.8
Konvergensi kedua makna ini sangat penting. Teknologi AI deep learning dapat menjadi alat yang ampuh untuk memfasilitasi tujuan pedagogis deep learning. Misalnya, AI dapat mempersonalisasi jalur pembelajaran untuk membantu siswa mencapai pemahaman yang lebih mendalam, atau mengotomatiskan penilaian untuk memberikan umpan balik real-time yang mendukung pemikiran kritis. Ini menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya tambahan, tetapi pendorong fundamental dari tujuan pedagogis.
Peran dan Manfaat AI dalam Personalisasi Pembelajaran dan Efisiensi Tugas Guru
Penerapan AI dalam pendidikan membawa manfaat ganda, baik dalam mempersonalisasi pengalaman belajar siswa maupun meningkatkan efisiensi tugas-tugas guru.
Dalam hal personalisasi pembelajaran, AI memiliki kemampuan luar biasa untuk menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan individu. Aplikasi seperti Duolingo menggunakan AI untuk mempersonalisasi pelajaran bahasa.8 Lebih lanjut, sistem AI dapat menyesuaikan materi berdasarkan kemampuan dan gaya belajar siswa 12, memberikan rencana dan jalur belajar khusus, serta mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa secara akurat.11 Personalisasi ini terbukti meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa secara signifikan.8
Untuk efisiensi tugas guru, AI berfungsi sebagai “asisten super” yang mengoptimalkan peran humanis guru. AI dapat membantu guru dalam menyiapkan dan mengorganisir materi pengajaran dengan lebih efisien, memberikan umpan balik instan (misalnya, melalui alat seperti Grammarly) 8, menilai pekerjaan siswa secara otomatis 8, dan mengelola kelas online.8 Dengan mengotomatiskan tugas-tugas administratif yang repetitif dan intensif data, AI secara efektif mengurangi beban kerja guru.7 Waktu yang dibebaskan ini dapat diinvestasikan kembali oleh guru untuk fokus pada interaksi langsung dengan siswa, memberikan dukungan sosio-emosional (seperti yang ditekankan oleh PPG 2025), dan mengembangkan kurikulum yang lebih inovatif.8 Ini memungkinkan guru untuk lebih berfokus pada “seni” mengajar—membangun hubungan yang bermakna, menumbuhkan kreativitas, dan memberikan dukungan emosional yang personal, area-area di mana guru manusia tetap tak tergantikan.
Selain itu, AI juga unggul dalam analisis data. AI dapat mengumpulkan dan menganalisis data nilai siswa untuk mengidentifikasi tren dan pola yang mungkin tidak terlihat oleh mata manusia, memungkinkan penilaian yang lebih objektif dan penentuan area yang memerlukan perhatian lebih lanjut.9 Dalam aspek aksesibilitas, AI meningkatkan aksesibilitas pendidikan melalui fitur-fitur seperti pembaca layar, pengenalan suara, alat bantu belajar, dan penerjemahan real-time, sehingga pendidikan dapat diakses oleh lebih banyak siswa dengan beragam kebutuhan.8
Integrasi Teknologi Deep Learning dalam Metode Pengajaran Inovatif (Pembelajaran Adaptif, Tutor Virtual, Penilaian Otomatis)
Integrasi teknologi deep learning memungkinkan pengembangan metode pengajaran yang inovatif, yang secara langsung mendukung prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka yang berpusat pada siswa dan pembelajaran berdiferensiasi.
- Sistem Pembelajaran Adaptif: Teknologi deep learning memungkinkan sistem pembelajaran yang menyesuaikan materi, tingkat kesulitan, dan latihan tambahan berdasarkan kemampuan dan gaya belajar siswa secara real-time.8 Contoh platform yang menggunakan pendekatan ini adalah Khan Academy, yang menganalisis jawaban siswa untuk menentukan area yang membutuhkan lebih banyak latihan.8 Sistem ini memungkinkan guru untuk menskalakan personalisasi dan diferensiasi dengan cara yang tidak mungkin dilakukan secara manual, sehingga secara efektif memenuhi beragam kebutuhan belajar siswa dan menjadikan kurikulum benar-benar “merdeka” bagi setiap pelajar.
- Tutor Virtual dan Asisten Pembelajaran: Chatbot edukatif dan asisten virtual berbasis AI dapat menjawab pertanyaan siswa kapan saja, memberikan bimbingan pribadi yang lebih terarah, dan membantu memahami konsep sulit secara otomatis.8 Ini memberikan dukungan belajar yang fleksibel dan dapat diakses di luar jam pelajaran tradisional.
- Penilaian Otomatis dan Umpan Balik Real-Time: AI dapat menganalisis jawaban siswa, mengidentifikasi kesalahan, dan memberikan rekomendasi atau penjelasan tambahan secara instan.8 Teknologi ini juga mampu melacak kemajuan belajar siswa secara real-time, yang secara signifikan mempercepat proses evaluasi akademik dan memungkinkan intervensi yang tepat waktu.12
- Simulasi dan Visualisasi Interaktif: Teknologi deep learning memungkinkan pengembangan pengalaman belajar yang diperkaya dengan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR).9 Ini memungkinkan siswa untuk melakukan eksperimen virtual, menjelajahi tempat bersejarah, atau memvisualisasikan konsep abstrak dalam matematika dan sains, membuat pembelajaran lebih konkret dan menarik.12
Keterkaitan Pilar Deep Learning (6C’s) dengan Profil Pelajar Pancasila
Pendekatan deep learning (pedagogis) memiliki pilar utama yang dikenal sebagai 6C’s: Character education, Citizenship, Collaboration, Communication, Creativity, dan Critical thinking.2 Menariknya, Kurikulum Merdeka di Indonesia memiliki ciri khas yang sangat selaras dengan keenam pilar deep learning ini, yaitu konsep Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).2
Terdapat keselarasan yang kuat antara dimensi P5 dan 6C’s, menunjukkan pendekatan yang terencana dan harmonis dalam pengembangan karakter dan kompetensi siswa:
- Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia (P5) sejalan dengan Character education (6C’s).2 Pendidikan karakter pada 6C’s selaras dengan pendidikan moral dan akhlak mulia pada P5.
- Berkebinekaan global (P5) sejalan dengan Citizenship (6C’s).2 Keduanya menekankan kesadaran siswa terhadap keberagaman dan kontribusi positif sebagai warga dunia.
- Bergotong royong (P5) sejalan dengan Collaboration (6C’s).2 Keduanya mempromosikan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
- Mandiri (P5) sejalan dengan Critical Thinking (6C’s).2 Kemampuan membuat keputusan yang matang dan menyelesaikan masalah sendiri mencakup kemampuan berpikir kritis.
- Bernalar kritis (P5) juga merupakan inti mendalam dari Critical Thinking (6C’s).2
- Kreatif (P5) sejalan dengan Creativity (6C’s).2 Kreativitas dalam P5 mencakup inovasi dalam menghimpun ide baru, yang selaras dengan pilar kreativitas di 6C’s.
- Communication (6C’s) dapat muncul dalam beberapa aspek P5, seperti menyampaikan gagasan ketika bergotong royong.2
Keselarasan ini menunjukkan pendekatan strategis dan terencana dalam pengembangan kurikulum yang memadukan praktik terbaik internasional dalam deep learning dengan pembangunan karakter nasional. Ini berarti Indonesia tidak hanya mengadopsi model pendidikan global, tetapi juga mengadaptasi dan mengintegrasikannya untuk memenuhi tujuan budaya dan sosial yang unik, menciptakan kerangka kerja yang kuat dan relevan secara budaya untuk pengembangan siswa secara holistik. Hal ini memperkuat argumen untuk koherensi dan potensi efektivitas Kurikulum Merdeka.
Tabel 2: Pilar Utama Deep Learning (6C’s) dan Keterkaitannya dengan Profil Pelajar Pancasila
Pilar Deep Learning (6C’s) | Dimensi Profil Pelajar Pancasila | Keterkaitan/Penjelasan Singkat |
Character Education | Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia | Fokus pada kualitas individu, moral, dan etika. |
Citizenship | Berkebinekaan Global | Berpikir sebagai warga dunia, memahami nilai-nilai beragam. |
Collaboration | Bergotong Royong | Kapasitas untuk bekerja sama secara sinergis dalam tim. |
Communication | (Muncul dalam berbagai aspek P5) | Penguasaan kefasihan digital, menulis, dan berbicara. |
Creativity | Kreatif | Pandangan kewirausahaan, menghasilkan ide baru, inovasi. |
Critical Thinking | Mandiri, Bernalar Kritis | Mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan bermakna, menerapkan di dunia nyata. |
Strategi Mengajar di Era Digital: Menghadapi Tantangan Ketergantungan Gadget, Membangun Keterlibatan Siswa di Tengah Distraksi Digital
Di era digital yang semakin canggih, kecanduan gadget pada anak telah menjadi isu yang mendesak untuk ditangani.14 Penggunaan gadget yang berlebihan dapat mengubah perilaku dan berdampak negatif pada kesehatan fisik, mental, serta interaksi sosial, bahkan dapat menurunkan prestasi akademik.14 Penyebab ketergantungan ini meliputi akses tanpa batas terhadap teknologi, daya tarik media sosial (termasuk fenomena Fear of Missing Out atau FOMO), hiburan digital yang menarik seperti game online dan video streaming, kurangnya aktivitas alternatif, dan pola asuh orang tua yang permisif.16
Tantangan utama bagi guru adalah kompetisi atensi siswa. Gadget menawarkan hiburan instan dan pengalaman yang sangat menarik, sehingga pembelajaran di kelas harus mampu bersaing untuk mendapatkan perhatian siswa. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan relevan untuk memancing keterlibatan siswa.2 Pembelajaran yang relevan dan dekat dengan kehidupan siswa membuat mereka lebih termotivasi, karena mereka merasakan langsung relevansi dari apa yang sedang mereka pelajari.2 Ini menuntut guru untuk menjadi “desainer pengalaman” yang mampu memanfaatkan prinsip-prinsip deep learning (pembelajaran bermakna, sadar, dan menyenangkan) serta fokus Kurikulum Merdeka pada relevansi dunia nyata dan proyek-proyek yang berpusat pada siswa.2 Tujuannya adalah menciptakan lingkungan belajar yang begitu menarik, interaktif, dan relevan secara personal sehingga secara alami menarik siswa menjauh dari konsumsi gadget yang pasif. Ini adalah pertarungan untuk relevansi dan keterlibatan, bukan sekadar kontrol.
Mengelola Penggunaan Gadget di Kelas: Aturan Jelas, Batasan, dan Konsekuensi
Untuk mengatasi tantangan ketergantungan gadget, penting bagi guru untuk membuat aturan penggunaan gadget yang jelas dan konsisten di kelas.15 Aturan ini sebaiknya didiskusikan dengan siswa untuk mencapai “solusi win-win” yang disetujui oleh semua pihak.15 Pendekatan ini melampaui sekadar penegakan disiplin; ini adalah bagian dari literasi digital yang bertanggung jawab. Dengan melibatkan siswa dalam proses pembuatan aturan, guru tidak hanya mengendalikan penggunaan gadget tetapi juga menumbuhkan regulasi diri digital dan kesadaran kritis pada siswa. Mereka diajarkan untuk memahami manfaat dan risiko penggunaan gadget, serta membuat pilihan yang tepat untuk kesejahteraan dan pembelajaran mereka sendiri.
Selain itu, penting untuk menetapkan batasan waktu penggunaan gadget secara jelas setiap hari.14 Aturan yang telah ditetapkan harus dijalankan dengan tegas, dan konsekuensi yang tepat perlu diberikan jika siswa menggunakan gadget di luar keperluan sekolah, seperti menyita gadget selama pelajaran.15 Guru juga dapat memastikan bahwa tidak semua tugas harus dikerjakan menggunakan gadget; membuat kerangka kerja proyek secara non-digital, misalnya, dapat membantu siswa tetap fokus pada tugas yang sedang dikerjakan.15
Mendorong Aktivitas Alternatif, Interaksi Sosial, dan Literasi Digital
Strategi efektif lainnya adalah mendorong anak untuk terlibat dalam aktivitas fisik dan sosial di luar penggunaan gadget, seperti bermain di luar rumah, berolahraga, atau bergabung dengan kegiatan sosial yang sesuai dengan minat mereka.14 Aktivitas ini membantu mengalihkan perhatian anak dari gadget dan memperluas lingkup kehidupan sosial mereka.
Guru juga dapat membantu siswa menemukan hobi atau kegiatan lain yang menarik perhatian mereka selain gadget, seperti membaca buku, membuat kerajinan tangan, atau belajar memasak.14 Dengan memberikan alternatif yang menarik, siswa akan lebih tertarik untuk menghabiskan waktu mereka dengan hal-hal positif tersebut. Strategi ini merupakan bagian dari pendidikan holistik yang melampaui layar digital. Aktivitas-aktivitas ini secara langsung mengimbangi sifat isolatif dan pasif dari penggunaan gadget yang berlebihan, menumbuhkan perkembangan sosial-emosional, kesehatan fisik, dan minat yang beragam, yang semuanya penting untuk pengembangan holistik siswa (tema inti Kurikulum Merdeka dan 6C’s dari Deep Learning).
Selain itu, meningkatkan kesadaran anak muda tentang dampak negatif ketergantungan gadget melalui edukasi digital di sekolah sangat penting.16 Mendorong interaksi sosial tatap muka dengan keluarga dan teman juga dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap dunia digital dan meningkatkan keterampilan sosial mereka.16
Peran Guru sebagai Teladan dan Pembimbing Komunikasi Efektif
Guru, bersama dengan orang tua, harus menjadi contoh yang baik dalam menggunakan gadget secara bijak dan bertanggung jawab.14 Ini berarti membatasi penggunaan gadget di depan siswa dan menunjukkan bahwa ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan tanpa bergantung pada teknologi.14
Penting juga untuk menciptakan lingkungan di mana siswa merasa nyaman untuk berbicara tentang penggunaan gadget mereka. Guru harus mendiskusikan manfaat dan risiko penggunaan berlebihan, serta dampaknya pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.14 Menjaga komunikasi terbuka dan memberikan dukungan serta bimbingan yang dibutuhkan siswa adalah kunci.14 Pendekatan ini menunjukkan bahwa guru tidak hanya menegakkan aturan, tetapi secara aktif membentuk hubungan siswa dengan teknologi, mengubah potensi distraksi menjadi kesempatan untuk refleksi kritis dan penggunaan yang bertanggung jawab.
Dalam situasi di mana perhatian siswa terfokus pada layar gadget saat belajar di kelas, guru dapat menggunakan frasa menyenangkan yang telah ditentukan sebelumnya untuk mengembalikan perhatian siswa, seperti “semua siap!” atau “all eyes on me”.15 Setelah frasa disebutkan, siswa dapat merespons dengan yel-yel agar kelas terasa lebih menyenangkan.15
Tabel 3: Strategi Efektif Mengatasi Ketergantungan Gadget pada Siswa
Kategori Strategi | Strategi Spesifik | Penjelasan Singkat |
Pembatasan & Disiplin | Batasi waktu penggunaan | Tentukan durasi yang jelas dan konsisten setiap hari. |
Buat aturan jelas & tegas | Diskusikan dengan siswa untuk mencapai kesepakatan bersama dan terapkan konsekuensi. | |
Tidak semua tugas dengan gadget | Dorong penggunaan metode non-digital untuk beberapa tugas. | |
Pengalihan & Pengembangan Minat | Dorong aktivitas fisik & sosial | Ajak bermain di luar, olahraga, atau kegiatan kelompok. |
Bantu temukan hobi | Kenalkan kegiatan alternatif seperti membaca, seni, atau kerajinan. | |
Edukasi & Komunikasi | Ajak komunikasi terbuka | Diskusikan manfaat dan risiko penggunaan gadget berlebihan. |
Edukasi bahaya ketergantungan | Tingkatkan kesadaran tentang dampak negatif melalui program sekolah. | |
Peran Guru/Orang Tua | Berikan contoh positif | Tunjukkan penggunaan gadget yang bijak dan bertanggung jawab. |
Dorong interaksi tatap muka | Fasilitasi pertemuan langsung dengan keluarga dan teman. | |
Gunakan frasa pengalih perhatian | Pakai yel-yel atau kata-kata kunci untuk mengembalikan fokus di kelas. |
Tantangan dan Peluang ke Depan bagi Profesi Guru, Kesenjangan Digital dan Kebutuhan Infrastruktur Pendidikan
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi Kurikulum Merdeka dan integrasi teknologi adalah kesenjangan digital dan akses yang tidak merata terhadap infrastruktur pendidikan.9 Tidak semua sekolah atau daerah memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan sumber daya yang dibutuhkan, terutama di daerah pedalaman atau perdesaan. Ini menciptakan disparitas yang signifikan antara siswa dan guru di berbagai lokasi. Guru perlu mencari solusi kreatif dan inklusif untuk memastikan semua siswa memiliki kesempatan yang adil dalam mengakses teknologi dan manfaatnya.17 Kesenjangan ini merupakan penghalang kritis terhadap implementasi yang adil dan efektif dari pembelajaran berbasis teknologi.
Kesiapan Guru dan Kebutuhan Pengembangan Berkelanjutan
Meskipun ada upaya melalui PPG 2025, kesiapan guru untuk beradaptasi dengan perubahan peran dan keterampilan yang dituntut di era digital masih menjadi tantangan. Guru dituntut untuk terus belajar dan mengembangkan diri secara otodidak, mengikuti pelatihan, dan tidak kalah dengan generasi Z yang sudah melek teknologi.17 Perubahan peran dan keterampilan, serta kebutuhan untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan agar dapat mengajar secara relevan dan efektif, memerlukan komitmen berkelanjutan terhadap pengembangan profesional.17 Ini menyoroti bahwa pengembangan sumber daya manusia sama pentingnya dengan adopsi teknologi.
Etika dan Privasi Data dalam Pemanfaatan AI
Dengan semakin meluasnya penggunaan AI dalam pendidikan, isu etika dan privasi data siswa menjadi sangat krusial.9 Guru dihadapkan pada tantangan untuk membimbing siswa dalam penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan aman, termasuk pemahaman tentang privasi online, perlindungan data pribadi, kejahatan siber, dan perilaku etis.17 Penting untuk membangun kesadaran digital di kalangan siswa dan pendidik, mengembangkan dan menerapkan kebijakan privasi data yang kuat, serta melakukan audit dan penilaian risiko secara berkala terhadap sistem AI.9 Hal ini menggarisbawahi perlunya kerangka etika yang kuat seiring dengan kemajuan teknologi.
Peluang Inovasi dan Transformasi Pendidikan
Terlepas dari tantangan, era digital dan Kurikulum Merdeka membuka beragam peluang bagi guru untuk berinovasi dan mentransformasi pendidikan. AI menawarkan potensi besar untuk personalisasi pembelajaran yang lebih mendalam, analisis data yang memberikan wawasan lebih baik tentang kemajuan siswa, dan pengalaman belajar yang diperkaya melalui simulasi interaktif.9 Guru dapat memanfaatkan alat digital, platform pembelajaran online, aplikasi pendidikan, dan sumber daya digital lainnya untuk menciptakan pengalaman pembelajaran yang menarik, interaktif, dan relevan.17 Ini adalah peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan dan menyiapkan siswa untuk masa depan yang kompleks.
Kesimpulan
Perkembangan profesi guru di Indonesia pada tahun 2025 berada pada titik transformasi yang dinamis, didorong oleh implementasi Kurikulum Merdeka dan integrasi teknologi deep learning. Peran guru telah berevolusi secara signifikan dari sekadar penyampai pengetahuan menjadi fasilitator, motivator, inovator, dan kolaborator yang berpusat pada siswa. Kurikulum Merdeka memberikan fondasi yang fleksibel dan otonom, memungkinkan guru untuk merancang pembelajaran yang relevan dan berdiferensiasi, serta menguatkan karakter siswa melalui Profil Pelajar Pancasila.
Sinergi antara Kurikulum Merdeka dan deep learning sangat jelas. Konsep pedagogis deep learning, yang menekankan pemahaman mendalam, berpikir kritis, dan kolaborasi (melalui 6C’s), selaras sempurna dengan dimensi Profil Pelajar Pancasila. Pada saat yang sama, teknologi AI deep learning berfungsi sebagai katalisator yang kuat, memungkinkan personalisasi pembelajaran yang belum pernah ada sebelumnya, mengotomatisasi tugas administratif guru, dan menyediakan alat bantu interaktif seperti tutor virtual dan penilaian otomatis. Ini membebaskan guru untuk fokus pada aspek humanis pengajaran, membangun hubungan yang bermakna, dan memberikan dukungan emosional yang esensial.
Namun, transformasi ini tidak tanpa tantangan. Kesenjangan digital, kesiapan guru, serta isu etika dan privasi data menjadi hambatan yang memerlukan perhatian serius. Untuk menghadapi tantangan siswa yang asyik dengan gadget, guru dituntut untuk menjadi “desainer pengalaman” pembelajaran yang mampu menciptakan lingkungan yang lebih menarik dan relevan daripada distraksi digital. Strategi seperti penetapan aturan yang jelas, mendorong aktivitas alternatif, dan menjadi teladan dalam penggunaan teknologi yang bijak adalah kunci untuk menumbuhkan literasi digital yang bertanggung jawab dan keseimbangan hidup pada siswa.
Secara keseluruhan, masa depan profesi guru di Indonesia pada tahun 2025 akan ditandai oleh adaptasi berkelanjutan, peningkatan kompetensi digital dan pedagogis, serta kolaborasi yang erat antara manusia dan teknologi. Dengan pendekatan yang proaktif, komitmen terhadap pengembangan profesional berkelanjutan, dan pemanfaatan teknologi secara strategis, guru akan terus menjadi pilar utama dalam membentuk generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter kuat, adaptif, dan siap menghadapi kompleksitas dunia masa depan.