Penyakit Kronis pada Lansia : Pencegahan, Terapi Modern, dan Alternatif Herbal
Pentingnya Memahami Penyakit Kronis pada Lansia di Era Teknologi Kesehatan Modern. Populasi lanjut usia (lansia) di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan tren peningkatan yang signifikan.1 Peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) membawa konsekuensi meningkatnya prevalensi penyakit kronis yang menjadi tantangan besar bagi kesehatan masyarakat. Seiring bertambahnya usia, berbagai fungsi organ dan sistem tubuh mengalami penurunan, membuat lansia lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, osteoporosis, demensia, stroke, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker. Penyakit-penyakit ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup individu lansia tetapi juga membebani keluarga dan sistem layanan kesehatan secara keseluruhan.
Namun, di tengah tantangan tersebut, kemajuan pesat dalam teknologi kesehatan menawarkan secercah harapan. Inovasi dalam metode diagnosis, pengembangan obat-obatan baru yang lebih efektif dan bertarget, serta teknologi medis canggih telah membuka cakrawala baru dalam upaya pencegahan, pengobatan, dan pengelolaan penyakit kronis pada populasi lansia. Laporan ini bertujuan untuk mengupas secara komprehensif berbagai aspek penyakit kronis yang umum diderita lansia, mulai dari prevalensi dan faktor risiko, hingga strategi pencegahan, pilihan pengobatan modern dengan fokus pada teknologi dan obat-obatan terbaru, serta tinjauan mengenai pengobatan herbal dan alternatif yang sering menjadi pilihan masyarakat.
Peningkatan jumlah lansia dengan penyakit kronis membawa implikasi sosial-ekonomi yang luas. Beban biaya perawatan kesehatan, baik yang ditanggung individu, keluarga, maupun negara, cenderung meningkat seiring dengan kebutuhan akan layanan medis jangka panjang, obat-obatan, dan intervensi teknologi canggih. Selain itu, kebutuhan akan pengasuh (baik formal maupun informal dari anggota keluarga) juga meningkat, yang berpotensi memengaruhi produktivitas anggota keluarga usia produktif yang mengambil peran sebagai perawat. Di sisi lain, meskipun teknologi kesehatan terus berkembang pesat, akses dan keterjangkauan terhadap inovasi tersebut seringkali menjadi kendala, terutama di negara berkembang atau daerah dengan sumber daya terbatas. Kesenjangan ini dapat menciptakan disparitas dalam kualitas perawatan yang diterima oleh lansia dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi, sebuah paradoks di era kemajuan teknologi.
Tujuan dan Ruang Lingkup Laporan
Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk menyediakan informasi yang komprehensif dan berbasis bukti mengenai penyakit-penyakit kronis yang paling sering menyerang populasi lansia. Laporan ini akan membahas:
- Jenis-jenis penyakit kronis yang umum pada lansia beserta gejala khasnya.
- Data prevalensi penyakit-penyakit tersebut, dengan fokus pada situasi di Indonesia.
- Faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap timbulnya penyakit kronis.
- Strategi pencegahan yang dapat diterapkan untuk mengurangi risiko atau menunda onset penyakit.
- Pilihan penatalaksanaan modern, termasuk teknologi diagnostik dan terapeutik terkini serta obat-obatan baru yang telah disetujui atau menunjukkan potensi signifikan.
- Tinjauan mengenai pengobatan herbal dan alternatif yang sering digunakan, termasuk nama-nama tanaman obat yang relevan.
- Pembahasan mengenai keamanan dan potensi interaksi obat herbal, khususnya bagi lansia yang seringkali menjalani polifarmasi.
Ruang lingkup laporan ini akan mengacu pada data dan temuan penelitian ilmiah terkini yang tersedia, termasuk pedoman klinis dan laporan dari organisasi kesehatan kredibel, untuk menyajikan panduan yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
I. Penyakit Kronis yang Umum Menyerang Lansia dan Tingkat Prevalensinya
Seiring bertambahnya usia, lansia menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit kronis. Kondisi ini seringkali tidak berdiri sendiri; banyak lansia mengalami lebih dari satu penyakit kronis secara bersamaan, atau yang dikenal dengan istilah komorbiditas.7 Adanya komorbiditas ini dapat mempersulit proses diagnosis, penatalaksanaan, serta meningkatkan risiko komplikasi dan penurunan kualitas hidup. Sebagai contoh, seorang lansia yang menderita diabetes melitus dan hipertensi secara bersamaan memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit jantung atau stroke dibandingkan dengan mereka yang hanya memiliki satu dari kondisi tersebut.10
Selain itu, manifestasi gejala penyakit kronis pada lansia terkadang berbeda dengan populasi usia yang lebih muda. Gejala bisa jadi atipikal, lebih samar, atau bahkan tertutupi oleh perubahan fisiologis yang dianggap sebagai bagian dari proses penuaan normal.14 Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan penanganan, yang pada akhirnya dapat memperburuk prognosis. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai penyakit kronis yang umum pada lansia, gejala spesifiknya, dan prevalensinya menjadi sangat penting.
Berikut adalah beberapa penyakit kronis yang sering dialami oleh lansia, beserta prevalensinya:
A. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)
Deskripsi dan Gejala Umum:
Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi di mana tekanan darah secara konsisten berada di atas angka 140/90 mmHg.7 Tekanan darah sendiri merupakan ukuran kekuatan aliran darah dari jantung yang mendorong dinding pembuluh darah arteri.7 Hipertensi seringkali tidak menunjukkan gejala yang jelas pada tahap awal, sehingga dijuluki sebagai “pembunuh senyap” (silent killer).20 Namun, beberapa penderita mungkin mengalami keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, pusing, jantung berdebar-debar, rasa sakit di dada, gelisah, penglihatan kabur, atau mudah lelah.21 Pada kondisi krisis hipertensi, di mana tekanan darah melonjak sangat tinggi (misalnya, 180/120 mmHg atau lebih), gejala yang lebih berat dapat muncul, termasuk mual dan muntah, mimisan, nyeri dada hebat, gangguan penglihatan signifikan, telinga berdenging, gangguan irama jantung, adanya darah dalam urin, sesak napas, kesulitan berbicara, sakit kepala parah, hingga mati rasa atau kelemahan pada anggota tubuh.22
Prevalensi pada Lansia:
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis dengan prevalensi tertinggi pada populasi lansia.
- Indonesia: Menurut survei Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (Pergemi) pada Mei 2022, sebanyak 37,8% lansia di Indonesia menderita hipertensi, menjadikannya penyakit kronis yang paling banyak diderita kelompok usia ini.23 Data Riskesdas tahun 2018 juga menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi seiring bertambahnya usia: 45,9% pada kelompok usia 55-64 tahun, 57,6% pada usia 65-74 tahun, dan mencapai 63,8% pada mereka yang berusia di atas 75 tahun.2 Sebuah studi pendahuluan di Kabupaten Sumedang pada tahun 2022 menemukan bahwa dari 34 lansia (usia >65 tahun) dengan riwayat penyakit kronis, 10 di antaranya menderita hipertensi.24 Di Puskesmas Simpang IV Sipin, Jambi, pada tahun 2021, lebih dari separuh (50,3%) dari total 5.511 penderita hipertensi adalah lansia.2
- Global: Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 mencatat bahwa secara global, 1,28 miliar orang berusia 30-79 tahun menderita hipertensi.1 Di Amerika Serikat, pada tahun 2021, prevalensi hipertensi pada lansia dilaporkan sebesar 28,5%.24
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian serius terkait hipertensi adalah tingginya angka kasus yang tidak terdiagnosis atau tidak terkontrol dengan baik.20 Sebuah laporan menyebutkan bahwa hanya sekitar 42% penderita hipertensi yang telah mendapatkan penanganan yang sesuai, dan dari jumlah tersebut, hanya 21% yang penyakitnya berhasil dikendalikan.20 Sumber lain bahkan menyatakan bahwa kurang dari separuh (42%) orang dewasa dengan tekanan darah tinggi telah didiagnosis dan diobati, dan hanya satu dari lima (21%) yang berhasil mengendalikannya.26 Kesenjangan ini kemungkinan besar disebabkan oleh sifat asimtomatik dari hipertensi pada tahap awal, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemeriksaan tekanan darah rutin, serta tantangan dalam akses ke layanan kesehatan.
Peningkatan risiko hipertensi seiring bertambahnya usia juga memiliki dasar biologis yang jelas. Proses penuaan menyebabkan penurunan elastisitas arteri. Pembuluh darah menjadi lebih kaku dan kurang mampu mengembang secara optimal untuk mengakomodasi aliran darah, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan darah.1
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Deskripsi dan Gejala Umum:
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah kondisi kronis yang ditandai dengan kadar gula (glukosa) dalam darah yang melebihi batas normal. Pada umumnya, kondisi ini disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel tubuh untuk merespons insulin secara efektif (resistensi insulin) atau karena organ pankreas tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.27
Gejala DM Tipe 2 seringkali berkembang secara bertahap dan mungkin tidak terlalu kentara pada awalnya. Gejala yang umum meliputi rasa haus yang berlebihan (polidipsia), sering buang air kecil terutama pada malam hari (poliuria), rasa lapar yang meningkat (polifagia), penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, luka yang sulit sembuh, serta peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gejala lain yang mungkin timbul adalah masalah kulit seperti gatal-gatal atau munculnya area kulit yang menghitam (akantosis nigrikans) terutama di daerah lipatan seperti ketiak, leher, dan selangkangan. Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, serta keluhan pada tangan dan kaki berupa rasa sakit, kesemutan, atau kebas (neuropati perifer) juga sering dilaporkan. Pada beberapa kasus, disfungsi seksual seperti gangguan ereksi pada pria dapat terjadi.14 Penting untuk dicatat bahwa ciri-ciri diabetes pada lansia bisa lebih sulit dikenali karena gejalanya dapat tumpang tindih dengan kondisi medis lain yang umum pada usia lanjut atau dianggap sebagai bagian dari proses penuaan.15
Prevalensi pada Lansia:
DM Tipe 2 juga menunjukkan prevalensi yang signifikan pada populasi lansia.
- Indonesia: Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi DM yang didiagnosis dokter pada penduduk usia tahun sebesar 2%, meningkat dari 1,5% pada tahun 2013. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah, prevalensinya meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018.4 Sumber lain dari Riskesdas 2018 menyebutkan angka 10,9% untuk usia tahun.9 Survei Pergemi tahun 2022 menemukan bahwa 22,9% lansia menderita diabetes.23 Menurut Riskesdas 2018, prevalensi DM pada kelompok usia lansia adalah 6,3% untuk usia 55-64 tahun, 6,0% untuk usia 65-74 tahun, dan 3,3% untuk usia 75 tahun ke atas.5 Sebuah studi yang dilakukan di Jakarta Selatan menunjukkan angka prevalensi DM pada lansia sebesar 12,78%.5 Studi DISCOVER yang melibatkan 221 subjek di Indonesia dengan rerata usia 55,6 tahun menunjukkan prevalensi DM Tipe 2 sebesar 10,8%.9
- Global: International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan pada tahun 2019 terdapat 463 juta orang dewasa (usia 20-79 tahun) di seluruh dunia yang menderita DM, dengan prevalensi global sebesar 9,3%. Angka ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2045. Khusus untuk kelompok usia 65-79 tahun, prevalensi DM diperkirakan mencapai 19,9%.4
Kaitan erat antara DM Tipe 2 dengan gaya hidup dan obesitas sangat menonjol. Individu dengan kelebihan berat badan atau obesitas memiliki risiko hingga 80 kali lebih mungkin untuk terkena DM Tipe 2 dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan ideal.27 Gaya hidup sedentari, atau kurangnya aktivitas fisik, juga merupakan faktor risiko utama. Aktivitas fisik berperan penting dalam membantu mengontrol berat badan, memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi, dan meningkatkan sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin. Akibatnya, semakin pasif seseorang, semakin besar pula risikonya untuk mengalami DM Tipe 2.27 Selain faktor gaya hidup, proses penuaan itu sendiri juga berkontribusi. Seiring bertambahnya usia, dapat terjadi penurunan fungsi sel beta di pankreas, yaitu sel-sel yang bertanggung jawab untuk memproduksi insulin.27 Kombinasi antara faktor gaya hidup yang kurang sehat dan perubahan fisiologis terkait usia ini menjelaskan mengapa lansia memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap DM Tipe 2.
C. Penyakit Jantung (termasuk Penyakit Jantung Koroner dan Gagal Jantung)
Deskripsi dan Gejala Umum:
Istilah “penyakit jantung” mencakup berbagai kondisi yang memengaruhi struktur dan fungsi jantung. Beberapa jenis yang umum pada lansia meliputi penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung, aritmia (gangguan irama jantung), dan penyakit katup jantung.7 PJK, yang merupakan salah satu bentuk penyakit jantung paling umum, terjadi akibat penyempitan atau penyumbatan arteri koroner (pembuluh darah yang memasok darah ke otot jantung) oleh tumpukan plak aterosklerosis.29
Gejala umum PJK bisa berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada yang dikenal sebagai angina, sesak napas (terutama saat beraktivitas), dan jantung berdebar (palpitasi).7 Gejala lain yang mungkin menyertai adalah rasa berat di dada, kelemahan, pusing, keringat dingin, dan mual.11 Penting untuk diketahui bahwa gejala PJK pada wanita, lansia, dan penderita diabetes bisa berbeda atau kurang khas, seperti nyeri yang menjalar ke lengan atau rahang, sensasi terbakar di dada atau perut bagian atas, detak jantung tidak teratur, tangan dingin dan berkeringat, serta kelelahan yang tidak biasa.11
Serangan jantung (infark miokard), yang merupakan kondisi darurat akibat terhentinya aliran darah ke sebagian otot jantung, dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan gangguan pencernaan seperti mulas, mual, dan muntah, disertai rasa berat di dada dan nyeri yang bisa menyebar ke seluruh tubuh.7 Tanda-tanda lain yang perlu diwaspadai sebagai kemungkinan gejala penyakit jantung pada lansia meliputi tekanan darah tinggi yang persisten, kadar gula darah tinggi, kesulitan bernapas yang tidak dapat dijelaskan, kolesterol tinggi, pusing atau episode pingsan, nyeri tenggorokan atau rahang yang tidak biasa, berkeringat secara berlebihan tanpa pemicu yang jelas, serta pembengkakan pada kaki dan tungkai.30
Prevalensi pada Lansia:
Penyakit jantung merupakan masalah kesehatan global yang utama dan menjadi penyebab utama kematian.
- Indonesia: Survei Pergemi tahun 2022 melaporkan bahwa 11,4% lansia di Indonesia memiliki penyakit jantung.23 Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi PJK berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,5%, dan 1,5% jika berdasarkan diagnosis dokter atau gejala. Untuk gagal jantung, prevalensinya adalah 0,13% berdasarkan diagnosis dokter, dan 0,3% berdasarkan diagnosis atau gejala. Prevalensi kedua kondisi ini cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.31 Di Kabupaten Sumedang, sebuah studi kecil pada tahun 2022 menemukan bahwa 17 dari 301 lansia (sekitar 5,6%) berusia di atas 65 tahun menderita penyakit jantung.24 Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2020 menyatakan bahwa penyakit jantung adalah penyebab utama kematian di Indonesia, dengan perkiraan 1,25 juta kematian dari total populasi.12 Studi oleh Melyani dkk. (2023) di RSUD dr. Doris Sylvanus, Kalimantan Tengah, menemukan bahwa 65,7% dari 99 responden rawat jalan (mayoritas berusia di atas 40 tahun) menderita PJK.29
- Global: Penyakit kardiovaskular secara umum bertanggung jawab atas sekitar 25% dari total kematian global menurut WHO (2020), dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat, berpotensi mencapai 25 juta kematian per tahun pada 2030.12 Pada tahun 2019 saja, diperkirakan 18,6 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat penyakit jantung, yang mencerminkan 32% dari seluruh kematian global.12
Secara konsisten, data dari berbagai sumber, baik global maupun nasional, menempatkan penyakit jantung sebagai penyebab utama kematian.12 Fakta ini menggarisbawahi betapa pentingnya upaya pencegahan dan penatalaksanaan yang efektif untuk penyakit ini. Lebih lanjut, banyak faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit jantung, seperti hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi, merokok, obesitas, kurangnya aktivitas fisik, dan stres, juga merupakan faktor risiko untuk penyakit kronis lainnya.7 Keterkaitan ini menunjukkan adanya akar masalah bersama yang perlu ditangani secara komprehensif melalui pendekatan holistik terhadap gaya hidup dan kesehatan.
D. Osteoporosis (Pengeroposan Tulang)
Deskripsi dan Gejala Umum:
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan kepadatan dan kualitas tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi rapuh dan lebih rentan terhadap patah tulang (fraktur).18 Penyakit ini seringkali berkembang secara diam-diam tanpa gejala awal yang jelas, sehingga sering disebut sebagai “penyakit tanpa gejala” atau “silent disease”.17
Gejala biasanya baru muncul ketika tulang sudah cukup lemah atau setelah terjadi fraktur. Gejala lanjut yang mungkin dialami penderita osteoporosis meliputi nyeri punggung yang kronis (bisa disebabkan oleh fraktur kecil pada tulang belakang), penurunan tinggi badan secara bertahap, postur tubuh yang semakin membungkuk (kifosis atau dowager’s hump), serta tulang yang mudah patah bahkan akibat trauma ringan atau aktivitas sehari-hari seperti membungkuk atau mengangkat beban. Lokasi fraktur yang paling umum terkait osteoporosis adalah pergelangan tangan, pinggul, dan tulang belakang.7 Beberapa penderita juga mungkin mengalami kerapuhan pada kuku dan gigi, serta nyeri sendi.16
Prevalensi pada Lansia:
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan yang signifikan, terutama pada wanita pascamenopause.
- Indonesia: Data Kementerian Kesehatan RI mencatat prevalensi osteoporosis sebesar 23% pada wanita berusia 50-80 tahun, dan angka ini meningkat drastis menjadi 53% pada wanita berusia di atas 80 tahun.35 Sebuah studi yang dilakukan di Desa Tulikup, Gianyar, Bali, pada populasi berusia tahun menemukan prevalensi osteoporosis sebesar 28,1% (26,0% pada wanita dan 30,6% pada pria).36 Riskesdas 2013 tidak secara spesifik menyebutkan data prevalensi osteoporosis, namun mencatat data untuk penyakit sendi atau rematik secara umum.31
- Global: Diperkirakan bahwa satu dari empat wanita dan satu dari enam pria berusia di atas 65 tahun di seluruh dunia menderita osteoporosis.36
Dominasi osteoporosis pada wanita pascamenopause sangat terkait dengan penurunan kadar hormon estrogen. Estrogen memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan dan kepadatan tulang. Setelah menopause, produksi estrogen oleh ovarium menurun drastis, yang menyebabkan percepatan kehilangan massa tulang dan peningkatan risiko osteoporosis.33 Hal ini menjelaskan mengapa data prevalensi secara konsisten menunjukkan angka yang lebih tinggi pada wanita lansia.
Mengingat osteoporosis berkembang tanpa gejala awal, pencegahan sejak dini menjadi sangat krusial. Kepadatan tulang maksimal biasanya dicapai seseorang sekitar usia 30 tahun. Oleh karena itu, upaya untuk membangun “tabungan tulang” yang kuat melalui asupan kalsium dan vitamin D yang cukup, serta aktivitas fisik yang menahan beban secara teratur, idealnya dimulai jauh sebelum memasuki usia lansia.34 Investasi pada kesehatan tulang di usia muda dan dewasa akan memberikan manfaat besar dalam mengurangi risiko osteoporosis dan fraktur di kemudian hari.
E. Demensia (termasuk Penyakit Alzheimer)
Deskripsi dan Gejala Umum:
Demensia adalah sindrom yang ditandai dengan penurunan fungsi kognitif yang progresif dan cukup parah sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Ini bukanlah penyakit tunggal, melainkan istilah umum yang mencakup berbagai gangguan spesifik yang memengaruhi memori, berpikir, bahasa, penilaian, dan perilaku.38 Penyakit Alzheimer merupakan jenis demensia yang paling umum, diikuti oleh demensia vaskular (yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak).38 Demensia secara fundamental ditandai dengan hilangnya fungsi otak.38
Gejala awal demensia bisa sangat halus dan seringkali disalahartikan sebagai bagian dari penuaan normal. Namun, seiring perkembangan penyakit, gejala menjadi lebih jelas. Beberapa gejala umum meliputi kesulitan mengingat kejadian yang baru saja terjadi, kesulitan dalam berkomunikasi seperti sulit menemukan kata-kata yang tepat saat berbicara atau mengikuti percakapan, perubahan suasana hati yang tidak dapat dijelaskan (misalnya, menjadi lebih mudah marah, cemas, atau depresi), kebingungan mengenai waktu dan tempat, serta penurunan kemampuan dalam membuat penilaian atau keputusan yang baik.38
Prevalensi pada Lansia:
Demensia merupakan salah satu tantangan kesehatan utama pada populasi lansia.
- Indonesia: Diperkirakan prevalensi penyakit demensia Alzheimer di Indonesia mencapai sekitar 27,9%.39 Lebih dari 4,2 juta penduduk Indonesia dilaporkan menderita demensia.39 Prevalensi yang tinggi, yaitu di atas 20%, tercatat di pulau Jawa dan Bali.39
- Global: Secara global, diperkirakan sekitar 50 juta individu hidup dengan demensia. Prevalensi pada individu berusia tahun berkisar antara 4-9%. Angka ini diproyeksikan akan meningkat secara dramatis menjadi 152,8 juta penderita pada tahun 2050, terutama disebabkan oleh peningkatan usia harapan hidup di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.40
Sangat penting untuk mengedukasi masyarakat bahwa meskipun risiko demensia meningkat seiring bertambahnya usia, kondisi ini tidak dianggap sebagai bagian alami atau tak terhindarkan dari proses penuaan.38 Anggapan yang salah ini dapat menyebabkan stigma dan keterlambatan dalam mencari bantuan medis. Diagnosis dini memegang peranan krusial dalam penatalaksanaan demensia. Dengan diagnosis yang lebih awal, pasien dapat memperoleh manfaat maksimal dari intervensi yang tersedia, termasuk terapi obat dan non-obat, serta memungkinkan pasien dan keluarga untuk merencanakan perawatan jangka panjang dan dukungan yang dibutuhkan.38
F. Stroke
Deskripsi dan Gejala Umum:
Stroke adalah kondisi medis darurat yang terjadi ketika pasokan darah ke bagian otak terganggu atau berkurang secara signifikan, sehingga jaringan otak tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Akibatnya, sel-sel otak mulai mati dalam hitungan menit.42 Ada dua jenis utama stroke: stroke iskemik, yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah arteri di otak (paling umum), dan stroke hemoragik, yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak.42
Gejala stroke sangat bervariasi tergantung pada bagian otak mana yang terpengaruh dan seberapa luas kerusakannya. Gejala umumnya muncul secara mendadak dan dapat meliputi: kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada wajah, lengan, atau tungkai, terutama pada satu sisi tubuh; kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan (afasia); gangguan penglihatan mendadak pada satu atau kedua mata; pusing berat atau kehilangan keseimbangan dan koordinasi; serta sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba tanpa penyebab yang diketahui. Pengenalan gejala stroke secara cepat sangat penting, seringkali menggunakan akronim FAST (Face drooping, Arm weakness, Speech difficulty, Time to call emergency services).
Prevalensi pada Lansia:
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia.
- Indonesia: Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per 1.000 penduduk, dan 12,1 per 1.000 penduduk jika berdasarkan diagnosis atau gejala.31 Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan prevalensi stroke mencapai 8,3 per 1.000 penduduk pada usia di atas 15 tahun.6 Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada tahun 2023 tercatat 13.036 kasus stroke.43 Sebuah studi kecil di Kabupaten Sumedang pada tahun 2022 menemukan 3 kasus stroke dari 301 lansia berusia di atas 65 tahun.24 Studi lain yang menggunakan data SKI 2023 pada kelompok lansia ( tahun) menunjukkan bahwa jumlah subjek laki-laki penderita stroke (54,7%) sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan (45,3%).6
- Global: Stroke adalah penyebab utama disabilitas dan merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia.44 Diperkirakan sekitar 5,5 juta kematian setiap tahunnya disebabkan oleh stroke.6
Prinsip “waktu adalah otak” (time is brain) sangat fundamental dalam penanganan stroke. Setiap menit penundaan dalam penanganan stroke akut dapat menyebabkan kerusakan sel otak yang lebih luas dan permanen.42 Periode “jam emas” (golden hour), yaitu beberapa jam pertama setelah serangan stroke terjadi, merupakan jendela waktu kritis di mana intervensi medis dapat memberikan hasil yang paling optimal dalam membatasi kerusakan otak dan meningkatkan peluang pemulihan.42
Hipertensi secara konsisten diidentifikasi sebagai salah satu faktor risiko utama dan paling signifikan untuk terjadinya stroke.13 Pengendalian tekanan darah yang baik merupakan strategi pencegahan stroke yang sangat penting, baik pencegahan primer (mencegah stroke pertama) maupun sekunder (mencegah stroke berulang).
G. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Deskripsi dan Gejala Umum:
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit pernapasan kronis yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang bersifat persisten dan cenderung progresif. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap partikel atau gas berbahaya, dengan asap rokok sebagai penyebab paling umum.45 PPOK mencakup dua kondisi utama, yaitu bronkitis kronis (peradangan dan penyempitan saluran bronkus disertai produksi dahak berlebih) dan emfisema (kerusakan kantung udara atau alveoli di paru-paru).
Gejala PPOK berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun. Gejala yang umum meliputi batuk kronis yang seringkali disertai dahak (terutama di pagi hari), sesak napas (dispnea) yang awalnya hanya timbul saat beraktivitas fisik berat namun kemudian juga dirasakan saat aktivitas ringan atau bahkan saat istirahat, mengi (napas berbunyi), rasa tertekan di dada, peningkatan frekuensi infeksi saluran napas seperti demam atau flu, kelelahan, penurunan berat badan yang tidak diinginkan, serta pada kasus yang lebih lanjut, dapat muncul kuku atau bibir yang kebiruan (sianosis) dan pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki.45
Prevalensi pada Lansia:
PPOK merupakan masalah kesehatan global yang signifikan dan seringkali menyerang individu di usia paruh baya hingga lansia.
- Indonesia: Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi PPOK berdasarkan wawancara sebesar 3,7%.31 Laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 juga mencatat prevalensi PPOK sebesar 3,7% per satu juta penduduk, dengan prevalensi tertinggi pada kelompok usia di atas 30 tahun.46 Diperkirakan sekitar 9,2 juta orang di Indonesia menderita PPOK.47 Sebagian besar kasus PPOK memang diderita oleh mereka yang berusia di atas 60 tahun, seiring dengan akumulasi paparan faktor risiko dan penurunan fungsi paru alami karena usia.46
- Global: PPOK diproyeksikan menjadi penyebab kematian ketiga di dunia pada tahun 2030. Secara global, sekitar tiga juta kematian setiap tahunnya disebabkan oleh PPOK (berdasarkan data GOLD 2020).46 Merokok diidentifikasi sebagai penyebab utama dari sekitar 3,23 juta kematian terkait PPOK pada tahun 2019.47
Hubungan antara merokok dan PPOK sangat kuat dan telah terbukti secara ilmiah. Mayoritas kasus PPOK secara langsung terkait dengan riwayat merokok, baik aktif maupun pasif.45 Oleh karena itu, langkah paling penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK adalah berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok.45
Selain berdampak langsung pada sistem pernapasan, PPOK juga dapat meningkatkan risiko komplikasi pada organ lain, terutama jantung. Penderita PPOK memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan penyakit jantung, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal (tekanan darah tinggi pada arteri paru-paru).45 Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan manajemen yang komprehensif pada pasien PPOK, termasuk pemantauan dan pengelolaan kesehatan kardiovaskular.
H. Kanker
Deskripsi dan Gejala Umum:
Kanker adalah istilah umum yang merujuk pada sekelompok besar penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan sel-sel abnormal yang tidak terkendali dan memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan di sekitarnya serta menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran darah atau sistem limfatik (proses yang disebut metastasis).7
Gejala kanker sangat bervariasi, tergantung pada jenis kanker, lokasi tumor primer, stadium penyakit, dan sejauh mana kanker telah menyebar. Beberapa gejala umum yang perlu diwaspadai dan mendorong seseorang untuk segera memeriksakan diri ke dokter meliputi munculnya benjolan atau penebalan yang tidak biasa di bagian tubuh manapun, perubahan pada tahi lalat (ukuran, bentuk, warna, atau tekstur), luka yang tidak kunjung sembuh, batuk atau suara serak yang persisten, perubahan kebiasaan buang air besar (seperti diare atau sembelit yang berkepanjangan) atau buang air kecil (seperti adanya darah dalam urin atau kesulitan berkemih), penurunan berat badan yang signifikan tanpa sebab yang jelas, kelelahan ekstrem yang tidak membaik dengan istirahat, serta nyeri yang persisten.
Prevalensi pada Lansia:
Insiden kanker cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, menjadikan lansia sebagai populasi yang memiliki risiko lebih tinggi.
- Indonesia: Data GLOBOCAN tahun 2020 mencatat terdapat 396.914 kasus baru kanker di Indonesia, dengan 234.511 kematian. Jenis kanker dengan insiden tertinggi adalah kanker payudara (16,6% dari total kasus baru), diikuti oleh kanker serviks (9,2%), dan kanker paru-paru (8,8%).58 Prevalensi kanker di Provinsi DI Yogyakarta menunjukkan peningkatan dari 4,1% pada tahun 2013 menjadi 4,86% pada tahun 2018.54 Data Riskesdas 2013 melaporkan prevalensi tumor/kanker secara umum sebesar 1,4 per 1.000 penduduk.59 Wanita yang terdiagnosis kanker serviks rata-rata berusia di atas 45 tahun, yang berarti banyak di antaranya memasuki usia lansia saat diagnosis.59 Estimasi dari Globocan menunjukkan bahwa jumlah kasus kanker meningkat hampir 40% dari tahun 2008 hingga 2022.53 Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Kesehatan tahun 2023 tidak secara spesifik merinci prevalensi kanker pada lansia, melainkan lebih berfokus pada capaian program kesehatan secara umum.60
- Global: Faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap peningkatan insiden kanker secara global meliputi gaya hidup yang tidak sehat, kebiasaan merokok, dan yang signifikan adalah meningkatnya proporsi populasi lansia di banyak negara.58
Peningkatan insiden kanker seiring bertambahnya usia merupakan tren epidemiologis yang mapan. Proses penuaan itu sendiri melibatkan akumulasi kerusakan genetik dan penurunan efektivitas mekanisme perbaikan sel, yang dapat meningkatkan kemungkinan transformasi sel normal menjadi sel kanker. Selain itu, paparan terhadap faktor karsinogenik (penyebab kanker) yang berlangsung selama bertahun-tahun juga berkontribusi pada risiko yang lebih tinggi pada usia lanjut.58
Pengobatan kanker pada lansia seringkali menghadirkan tantangan tersendiri. Lansia lebih mungkin memiliki penyakit penyerta (komorbiditas), penurunan fungsi organ (seperti ginjal atau hati yang penting untuk metabolisme obat), dan cadangan fisiologis yang lebih rendah. Faktor-faktor ini dapat memengaruhi pilihan terapi, tolerabilitas terhadap pengobatan agresif seperti kemoterapi atau radioterapi, serta meningkatkan risiko efek samping dan interaksi obat. Oleh karena itu, pendekatan pengobatan kanker pada lansia memerlukan pertimbangan yang cermat dan seringkali bersifat individual, dengan fokus pada keseimbangan antara efektivitas terapi dan kualitas hidup pasien.
Berikut adalah tabel ringkasan estimasi prevalensi beberapa penyakit kronis utama pada lansia di Indonesia:
Tabel 1: Estimasi Prevalensi Penyakit Kronis Utama pada Lansia di Indonesia
Nama Penyakit | Perkiraan Prevalensi (%) atau (per 1000 penduduk) | Kelompok Usia Lansia (jika spesifik) | Sumber Data Utama (Tahun) |
Hipertensi | 37,8% | Lansia (umum) | Pergemi (2022) 23 |
63,8% | >75 tahun | Riskesdas (2018) 2 | |
Diabetes Mellitus Tipe 2 | 22,9% | Lansia (umum) | Pergemi (2022) 23 |
6,0% (diagnosis dokter) | 65-74 tahun | Riskesdas (2018) 5 | |
10,8% (studi DISCOVER, rerata usia 55.6 thn) | Dewasa (termasuk pra-lansia) | 9 (2021) | |
Penyakit Jantung | 11,4% | Lansia (umum) | Pergemi (2022) 23 |
Penyakit Jantung Koroner | 1,5% (diagnosis/gejala) | Dewasa (meningkat seiring usia) | Riskesdas (2013) 31 |
Osteoporosis | 23% (wanita) | 50-80 tahun | Kemenkes RI 35 |
53% (wanita) | >80 tahun | Kemenkes RI 35 | |
28,1% (pria & wanita) | tahun (Studi Gianyar) | 36 | |
Demensia (Alzheimer) | 27,9% | Lansia (umum) | 39 (merujuk Kemenkes) |
Stroke | 8,3 per 1000 penduduk | >15 tahun (meningkat seiring usia) | SKI (2023) 6 |
PPOK | 3,7% | >30 tahun (tertinggi >60 tahun) | Kemenkes (2019) / Riskesdas (2013) 46 |
Kanker (umum) | 1,4 per 1000 penduduk (tumor/kanker) | Semua usia (meningkat pada lansia) | Riskesdas (2013) 59 |
396.914 kasus baru (total) | Semua usia | GLOBOCAN (2020) 58 |
Catatan: Data prevalensi dapat bervariasi tergantung metodologi survei, definisi kasus, dan tahun pengumpulan data. Tabel ini menyajikan estimasi berdasarkan sumber yang tersedia dalam materi riset.
II. Faktor Risiko Umum Penyakit Kronis pada Lansia
Perkembangan penyakit kronis pada lansia dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara berbagai faktor risiko. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan menjadi dua kelompok utama: faktor risiko yang tidak dapat diubah (non-modifiable) dan faktor risiko yang dapat diubah (modifiable).
A. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah (Non-Modifiable Risk Factors)
Faktor-faktor ini adalah karakteristik bawaan atau kondisi yang tidak dapat diubah oleh individu.
- Usia: Proses penuaan merupakan faktor risiko independen yang paling signifikan untuk sebagian besar penyakit kronis. Seiring bertambahnya usia, terjadi penurunan fungsi berbagai organ dan sistem tubuh secara alami, termasuk sistem kardiovaskular, metabolik, muskuloskeletal, dan saraf. Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap kondisi seperti hipertensi (akibat penurunan elastisitas arteri 1), diabetes tipe 2 (akibat penurunan fungsi sel beta pankreas 27), penyakit jantung, osteoporosis (akibat penurunan kepadatan tulang alami 33), demensia, stroke, PPOK, dan kanker.2
- Genetik dan Riwayat Keluarga: Adanya riwayat penyakit tertentu dalam keluarga (orang tua atau saudara kandung) dapat meningkatkan predisposisi genetik seseorang untuk mengembangkan kondisi serupa. Ini berlaku untuk penyakit jantung, diabetes tipe 2, beberapa jenis kanker, osteoporosis, dan demensia Alzheimer.4 Meskipun faktor genetik tidak dapat diubah, mengetahui riwayat keluarga dapat membantu dalam identifikasi risiko lebih dini dan penerapan strategi pencegahan yang lebih terarah.
B. Faktor Risiko yang Dapat Diubah (Modifiable Risk Factors)
Faktor-faktor ini terkait dengan gaya hidup dan lingkungan, yang berarti individu memiliki potensi untuk mengendalikannya dan mengurangi risiko penyakit.
- Pola Makan Tidak Sehat: Diet yang tinggi garam berkontribusi terhadap hipertensi.19 Konsumsi gula berlebih merupakan faktor risiko diabetes tipe 2.5 Asupan tinggi lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol meningkatkan risiko penyakit jantung.10 Sebaliknya, kekurangan nutrisi esensial seperti kalsium dan vitamin D dapat memicu osteoporosis.7 Secara umum, pola makan yang tidak seimbang dan kurang nutrisi merupakan kontributor signifikan terhadap berbagai penyakit kronis.8
- Kurangnya Aktivitas Fisik (Gaya Hidup Sedentari): Gaya hidup yang kurang bergerak atau tidak aktif secara fisik meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Pada hipertensi, kurang olahraga dapat menyebabkan detak jantung istirahat yang lebih tinggi dan pembuluh darah yang kurang elastis.19 Pada diabetes, kurang aktivitas fisik mengganggu kontrol berat badan dan mengurangi sensitivitas insulin.8 Risiko penyakit jantung juga meningkat akibat kurangnya manfaat kardioprotektif dari olahraga.10 Tulang juga menjadi lebih lemah dan rentan osteoporosis jika jarang digunakan dan tidak mendapatkan stimulus dari aktivitas fisik.33
- Merokok: Merokok merupakan salah satu faktor risiko utama yang dapat dicegah untuk berbagai penyakit kronis. Asap rokok mengandung ribuan zat kimia berbahaya yang merusak paru-paru (menyebabkan PPOK dan kanker paru) 7, merusak pembuluh darah dan jantung (menyebabkan penyakit jantung koroner dan stroke) 6, serta mengurangi kepadatan tulang (menyebabkan osteoporosis).33
- Konsumsi Alkohol Berlebihan: Minum alkohol secara berlebihan dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis.61 Secara spesifik, alkohol dapat mengganggu pembentukan jaringan tulang baru dan menyebabkan kehilangan kalsium, yang berkontribusi pada osteoporosis.33 Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan tekanan darah.19
- Stres Kronis: Stres yang berkepanjangan dan tidak terkelola dengan baik dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik. Stres dapat meningkatkan tekanan darah secara akut maupun kronis.19 Beberapa penelitian juga mengaitkan stres dengan gangguan metabolisme glukosa, yang mungkin disebabkan oleh gangguan produksi serotonin dan insulin.63 Stres juga merupakan faktor risiko yang diakui untuk penyakit jantung.10
- Kelebihan Berat Badan (Obesitas): Obesitas merupakan faktor risiko independen yang kuat untuk berbagai penyakit kronis. Lemak tubuh berlebih, terutama lemak viseral (di sekitar organ dalam), dapat menyebabkan resistensi insulin (memicu diabetes tipe 2 5), meningkatkan tekanan darah (hipertensi 8), menyebabkan dislipidemia (kadar kolesterol dan trigliserida abnormal), dan meningkatkan beban kerja jantung (memicu penyakit jantung 7). Obesitas juga dikaitkan dengan peningkatan risiko beberapa jenis kanker.7
- Paparan Lingkungan: Faktor lingkungan tertentu juga dapat berkontribusi. Misalnya, paparan polusi udara dalam jangka panjang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner.10
Seringkali, faktor-faktor risiko ini tidak muncul secara terisolasi. Sebaliknya, mereka dapat berinteraksi dan memiliki efek sinergis. Artinya, kombinasi beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit kronis secara eksponensial dibandingkan jika hanya ada satu faktor risiko. Sebagai contoh, individu dengan pola makan tidak sehat (tinggi lemak, gula, dan garam) cenderung mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Obesitas, pada gilirannya, meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan hipertensi. Jika ketiga kondisi ini (obesitas, diabetes, hipertensi) terjadi bersamaan, risiko untuk mengembangkan penyakit jantung atau stroke akan meningkat secara dramatis. Ini menggambarkan bagaimana satu faktor risiko dapat memicu faktor risiko lain, menciptakan semacam efek domino yang merugikan kesehatan.
Meskipun faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti usia dan genetik memainkan peran penting, penekanan pada faktor risiko yang dapat diubah memberikan peluang besar bagi individu untuk mengambil peran aktif dalam menjaga kesehatan mereka. Modifikasi gaya hidup, seperti memperbaiki pola makan, meningkatkan aktivitas fisik, berhenti merokok, dan mengelola stres, merupakan strategi pencegahan yang sangat efektif. Kesadaran akan hal ini memberdayakan lansia dan populasi umum untuk membuat pilihan yang lebih sehat.
Lebih jauh, identifikasi faktor-faktor risiko umum ini menjadi landasan penting bagi perancangan dan implementasi program intervensi kesehatan masyarakat yang efektif. Dengan menargetkan faktor-faktor risiko yang paling prevalen dan berdampak, program-program ini bertujuan untuk mengurangi beban penyakit kronis pada populasi lansia secara keseluruhan, sebagaimana diindikasikan dalam analisis epidemiologi untuk pengembangan program intervensi.61
III. Strategi Pencegahan Penyakit Kronis pada Lansia
Mencegah atau menunda timbulnya penyakit kronis pada lansia merupakan tujuan utama dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan di usia senja. Strategi pencegahan yang komprehensif melibatkan kombinasi antara penerapan pola hidup sehat dan pelaksanaan deteksi dini melalui pemeriksaan kesehatan rutin.
A. Peran Pola Hidup Sehat
Mengadopsi dan mempertahankan gaya hidup sehat adalah fondasi utama dalam pencegahan penyakit kronis. Beberapa aspek penting meliputi:
- Diet Seimbang dan Bergizi:
- Pengurangan Asupan Negatif: Membatasi konsumsi garam (natrium) penting untuk mengendalikan tekanan darah.19 Mengurangi asupan gula tambahan membantu mencegah diabetes tipe 2 dan obesitas.5 Menghindari lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol berlebih baik untuk kesehatan jantung.10 Diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), yang menekankan konsumsi buah, sayur, biji-bijian utuh, dan produk susu rendah lemak, serta membatasi lemak jenuh, kolesterol, dan natrium, direkomendasikan untuk penderita hipertensi atau mereka yang berisiko.62
- Peningkatan Asupan Positif: Memperbanyak konsumsi buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, dan sumber protein rendah lemak (seperti ikan, unggas tanpa kulit, kacang-kacangan) menyediakan vitamin, mineral, serat, dan antioksidan yang penting untuk kesehatan secara keseluruhan.27
- Nutrisi Spesifik Tulang: Memastikan kecukupan asupan kalsium dan vitamin D sangat krusial untuk menjaga kepadatan dan kekuatan tulang, sehingga mencegah osteoporosis.7
- Menjaga Berat Badan Ideal: Mengontrol berat badan agar tetap dalam rentang ideal membantu mengurangi risiko berbagai penyakit kronis, termasuk hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan beberapa jenis kanker.7
- Aktivitas Fisik Teratur:
- Melakukan aktivitas fisik secara teratur, seperti jalan kaki cepat, berenang, bersepeda, atau senam khusus lansia, sangat dianjurkan. Target yang disarankan adalah minimal 30 menit per hari, atau total 150 menit per minggu untuk aktivitas intensitas sedang.7 Aktivitas fisik membantu mengontrol tekanan darah, kadar gula darah, berat badan, meningkatkan kekuatan otot dan tulang, serta meningkatkan sirkulasi dan kesehatan jantung secara umum.
- Berhenti Merokok dan Hindari Paparan Asap Rokok:
- Merokok adalah faktor risiko utama untuk berbagai penyakit mematikan. Berhenti merokok adalah salah satu intervensi paling efektif untuk mencegah penyakit paru-paru (PPOK, kanker paru), penyakit jantung, stroke, dan osteoporosis.7 Menghindari paparan asap rokok (perokok pasif) juga sama pentingnya.
- Batasi Konsumsi Alkohol:
- Mengurangi atau menghindari konsumsi alkohol dapat menurunkan risiko berbagai masalah kesehatan.19
- Manajemen Stres yang Baik:
- Mengelola stres secara efektif melalui teknik relaksasi, meluangkan waktu untuk hobi yang menyenangkan, meditasi, atau yoga dapat membantu menjaga kesehatan fisik dan mental, termasuk mengontrol tekanan darah dan mengurangi risiko penyakit jantung.19
- Tidur yang Cukup dan Berkualitas:
- Tidur yang cukup dan berkualitas penting untuk proses pemulihan tubuh dan menjaga fungsi berbagai sistem organ, termasuk kesehatan jantung.10
B. Pentingnya Deteksi Dini dan Pemeriksaan Kesehatan Rutin
Selain menerapkan pola hidup sehat, deteksi dini melalui pemeriksaan kesehatan rutin memegang peranan vital dalam pencegahan sekunder, yaitu mengidentifikasi penyakit pada tahap awal sebelum menimbulkan gejala berat atau komplikasi. Pemeriksaan yang dianjurkan meliputi:
- Pemantauan Tekanan Darah: Melakukan pemeriksaan tekanan darah secara teratur, baik di fasilitas kesehatan maupun menggunakan alat pengukur tekanan darah di rumah (jika dianjurkan dokter).20
- Pemeriksaan Kadar Gula Darah: Melakukan tes gula darah puasa atau HbA1c secara berkala, terutama bagi mereka yang memiliki faktor risiko diabetes.63
- Skrining Kolesterol: Memeriksa profil lipid (kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida) secara rutin untuk menilai risiko penyakit jantung.64
- Tes Kepadatan Tulang (Bone Mineral Density Test): Dianjurkan untuk wanita pascamenopause dan pria lansia dengan faktor risiko osteoporosis untuk mendeteksi pengeroposan tulang lebih dini.37
- Skrining Demensia: Bagi lansia yang menunjukkan tanda-tanda awal penurunan kognitif, skrining menggunakan instrumen tervalidasi seperti kuisioner AD-8 INA (untuk diisi oleh keluarga atau orang terdekat) dan MoCA-INA (Montreal Cognitive Assessment – Indonesian version) dapat membantu deteksi dini dugaan gangguan kognitif.38
- Pemeriksaan Kesehatan Umum: Melakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh dan berkala sesuai anjuran dokter untuk memantau kondisi kesehatan secara umum dan mendeteksi potensi masalah kesehatan lainnya.
Strategi pencegahan penyakit kronis pada lansia idealnya mencakup berbagai tingkatan. Pencegahan primer berfokus pada upaya mencegah penyakit sebelum terjadi, terutama melalui promosi gaya hidup sehat. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mendeteksi penyakit pada tahap sedini mungkin melalui skrining dan pemeriksaan rutin, sehingga intervensi dapat dilakukan lebih awal untuk memperlambat progresi penyakit dan mencegah komplikasi. Pencegahan tersier, yang akan dibahas lebih lanjut dalam penatalaksanaan, berfokus pada pengelolaan penyakit yang sudah ada untuk mencegah kecacatan lebih lanjut dan meningkatkan kualitas hidup.
Keberhasilan upaya pencegahan tidak hanya bergantung pada kesadaran dan tindakan individu. Pendekatan multidisiplin yang melibatkan keluarga, tenaga kesehatan, komunitas, dan pembuat kebijakan sangat diperlukan. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional dan praktis dalam menerapkan gaya hidup sehat. Tenaga kesehatan berperan dalam edukasi, skrining, dan intervensi dini. Pemerintah dan organisasi masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan, misalnya melalui kampanye kesadaran, penyediaan fasilitas olahraga publik yang aman dan terjangkau, serta kebijakan yang mendukung akses terhadap makanan sehat.
Meskipun manfaat dari pola hidup sehat dan skrining sudah banyak diketahui, tantangan kepatuhan pada lansia bisa menjadi signifikan. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan antara lain keterbatasan fisik untuk berolahraga, kurangnya motivasi, masalah finansial untuk mengakses makanan sehat atau layanan skrining, serta kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau lingkungan. Mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan pendekatan yang personal dan suportif.
IV. Penatalaksanaan Modern Penyakit Kronis: Fokus pada Teknologi dan Obat-obatan Terbaru
Era kemajuan teknologi kesehatan telah membawa perubahan signifikan dalam cara penyakit kronis didiagnosis dan ditatalaksana, khususnya pada populasi lansia. Fokus utama pengembangan adalah pada metode yang lebih akurat, terapi yang lebih efektif dengan efek samping minimal, serta pendekatan yang bersifat personal.
Salah satu tren yang menonjol adalah menuju personalisasi pengobatan. Berdasarkan profil genetik, biomarker spesifik, dan karakteristik individual pasien, dokter kini semakin mampu merancang terapi yang lebih sesuai untuk setiap pasien. Hal ini terlihat jelas dalam bidang onkologi dengan adanya terapi target, dan juga mulai merambah ke penanganan beberapa penyakit jantung dan kondisi metabolik lainnya.50 Pemahaman yang lebih mendalam mengenai mekanisme molekuler penyakit memungkinkan pengembangan obat yang bekerja pada jalur spesifik, sehingga meningkatkan efikasi dan mengurangi toksisitas pada sel sehat.
Selain itu, prosedur minimal invasif semakin menjadi pilihan utama, terutama untuk pasien lansia. Teknik-teknik ini, seperti pemasangan ring jantung melalui kateter atau penggantian katup jantung transkateter, menawarkan keuntungan berupa waktu pemulihan yang lebih cepat, risiko komplikasi yang lebih rendah, dan kenyamanan yang lebih besar bagi pasien dibandingkan dengan bedah terbuka konvensional.68
Peran teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) juga tidak dapat diabaikan. Aplikasi kesehatan untuk pemantauan mandiri, platform telekonsultasi yang menghubungkan pasien dengan spesialis di berbagai lokasi, serta penggunaan AI dalam analisis data medis untuk diagnosis yang lebih cepat dan akurat, semuanya berkontribusi pada peningkatan kualitas layanan kesehatan.70
Namun, penting untuk dicatat bahwa banyak obat baru pada awalnya diuji pada populasi yang relatif lebih muda dan lebih sehat. Oleh karena itu, pentingnya uji klinis yang secara spesifik melibatkan populasi lansia tidak dapat ditekankan lagi. Lansia seringkali memiliki berbagai penyakit penyerta (komorbiditas) dan mengonsumsi banyak obat secara bersamaan (polifarmasi), yang dapat memengaruhi efikasi dan keamanan obat baru.75 Data spesifik untuk populasi geriatri sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa manfaat terapi benar-benar lebih besar daripada risikonya.
Berikut adalah pembahasan penatalaksanaan modern untuk masing-masing penyakit kronis, dengan penekanan pada teknologi dan obat-obatan terbaru yang relevan untuk lansia:
A. Hipertensi
Diagnosis Terkini:
Diagnosis hipertensi ditegakkan melalui pengukuran tekanan darah yang akurat dan berulang, minimal dua kali pada kunjungan yang berbeda dengan jarak waktu tertentu, misalnya satu minggu.19 Selain pengukuran tekanan darah, evaluasi lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menilai adanya kerusakan organ target atau mengidentifikasi penyebab hipertensi sekunder. Pemeriksaan penunjang dapat meliputi tes darah (untuk menilai fungsi ginjal, kadar elektrolit, gula darah, dan profil lipid), elektrokardiogram (EKG) untuk menilai aktivitas listrik jantung, ekokardiogram untuk melihat struktur dan fungsi pompa jantung, USG ginjal, analisis urin, hingga CT scan ginjal jika ada kecurigaan kelainan spesifik.20 Meskipun tidak ada teknologi diagnostik revolusioner yang baru secara spesifik untuk hipertensi, penekanan saat ini adalah pada pemantauan tekanan darah yang komprehensif dan berkelanjutan, termasuk penggunaan alat pengukur tekanan darah digital di rumah yang tervalidasi, serta evaluasi risiko kardiovaskular secara keseluruhan.
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Penatalaksanaan hipertensi selalu dimulai dengan modifikasi gaya hidup, yang meliputi diet rendah garam (mengurangi asupan natrium), peningkatan aktivitas fisik, berhenti merokok, manajemen stres, dan menjaga berat badan ideal.20
Jika perubahan gaya hidup tidak cukup untuk mengontrol tekanan darah, maka terapi farmakologis dengan obat antihipertensi akan direkomendasikan oleh dokter. Pilihan obat sangat individual dan tergantung pada usia pasien, tingkat tekanan darah, adanya penyakit penyerta, dan potensi interaksi obat. Beberapa golongan obat utama yang sering digunakan meliputi 20:
- Diuretik: Seperti Hydrochlorothiazide (HCT) atau Furosemide (Lasix), bekerja dengan membantu ginjal membuang kelebihan garam dan air dari tubuh.
- Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE Inhibitor): Seperti Captopril, bekerja dengan merelaksasi pembuluh darah.
- Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB): Seperti Irbesartan (Aprovel) atau Candesartan, juga bekerja merelaksasi pembuluh darah dengan mekanisme yang sedikit berbeda dari ACE Inhibitor.
- Penghambat Kanal Kalsium (CCB): Seperti Amlodipine (Amcor) atau Nifedipine (Adalat Oros), mencegah kalsium masuk ke sel otot jantung dan pembuluh darah, sehingga menyebabkan relaksasi dan pelebaran pembuluh darah.
- Beta-Blocker: Seperti Bisoprolol (Concor), bekerja dengan memperlambat detak jantung dan mengurangi kekuatan kontraksi jantung. Seringkali, kombinasi dua atau lebih jenis obat antihipertensi dari golongan yang berbeda diperlukan untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, terutama pada kasus hipertensi yang lebih berat atau resisten.19 Contoh obat kombinasi adalah Lapiva, yang mengandung Valsartan (ARB) dan Amlodipine (CCB).77
Teknologi Kesehatan Canggih:
Dalam konteks hipertensi, teknologi digital lebih banyak berperan dalam mendukung manajemen penyakit daripada diagnosis baru. Telemedicine dan platform edukasi kesehatan digital dapat meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan, dan cara memodifikasi gaya hidup. Aplikasi kesehatan juga dapat membantu pasien memantau tekanan darah mereka di rumah, mencatat hasil pengukuran, dan mengingatkan jadwal minum obat.25
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
- Aprocitentan (Tryvio): Obat ini mendapat persetujuan dari FDA pada bulan Maret 2024 dan merupakan terobosan signifikan untuk pasien dengan hipertensi resisten, yaitu tekanan darah yang tetap tinggi meskipun telah menggunakan tiga atau lebih jenis obat antihipertensi dari golongan berbeda, termasuk diuretik, atau terkontrol namun memerlukan empat atau lebih obat. Aprocitentan bekerja sebagai antagonis reseptor endotelin A dan B, sebuah mekanisme kerja yang berbeda dari obat antihipertensi yang sudah ada. Obat ini diberikan secara oral.69
- Signifikansi untuk Lansia: Hipertensi resisten bisa lebih sering ditemukan pada lansia karena adanya berbagai penyakit penyerta dan perubahan fisiologis terkait usia. Aprocitentan menawarkan harapan baru bagi kelompok pasien ini. Namun, penggunaannya memerlukan pemantauan yang cermat karena potensi efek samping seperti hepatotoksisitas (kerusakan hati), retensi cairan, dan toksisitas embrio-janin (meskipun yang terakhir kurang relevan untuk mayoritas lansia).79 Hasil dari studi klinis Fase 3 PRECISION menunjukkan efikasi Aprocitentan dalam menurunkan tekanan darah dan memberikan kontrol jangka panjang.79
Kepatuhan terhadap pengobatan jangka panjang merupakan tantangan besar dalam manajemen hipertensi, terutama karena penyakit ini seringkali tidak menimbulkan gejala pada tahap awal. Edukasi yang berkelanjutan dan dukungan dari tenaga kesehatan serta keluarga sangat penting untuk memastikan pasien minum obat secara teratur sesuai anjuran.25 Selain itu, lansia dengan hipertensi seringkali juga menderita penyakit kronis lain dan mengonsumsi beberapa jenis obat secara bersamaan (polifarmasi). Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat yang merugikan.80 Oleh karena itu, pemilihan obat antihipertensi, termasuk obat baru seperti Aprocitentan, harus selalu mempertimbangkan profil obat secara keseluruhan, potensi interaksi, dan kondisi individual pasien lansia.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diagnosis Terkini:
Diagnosis DM Tipe 2 ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah. Beberapa tes yang umum digunakan meliputi pemeriksaan gula darah puasa (GDP), tes toleransi glukosa oral (TTGO), pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), dan pemeriksaan Hemoglobin A1c (HbA1c).8 HbA1c memberikan gambaran rata-rata kadar gula darah selama 2-3 bulan terakhir dan sangat berguna untuk diagnosis maupun pemantauan kontrol glikemik. Saat ini, belum ada teknologi diagnostik baru yang secara fundamental mengubah cara DM Tipe 2 didiagnosis, namun penekanan lebih pada penggunaan tes yang sudah ada secara tepat dan interpretasi hasil dalam konteks klinis pasien secara keseluruhan.
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Manajemen DM Tipe 2 bersifat komprehensif dan melibatkan beberapa pilar utama 27:
- Modifikasi Gaya Hidup: Ini adalah landasan terapi, meliputi pengaturan pola makan sehat (diet rendah gula, memilih makanan dengan indeks glikemik rendah, tinggi serat), peningkatan aktivitas fisik secara teratur, dan upaya mencapai serta mempertahankan berat badan ideal.
- Obat Antidiabetes Oral (OAD): Jika modifikasi gaya hidup tidak cukup, dokter akan meresepkan OAD. Beberapa golongan OAD yang umum digunakan antara lain:
- Biguanid: Metformin (misalnya, Glucophage, Metformin Hexpharm) adalah obat lini pertama yang paling sering diresepkan. Metformin bekerja dengan mengurangi produksi glukosa oleh hati dan meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin.83
- Sulfonilurea: Seperti Glimepiride (Amaryl) dan Glibenclamide, bekerja dengan merangsang pankreas untuk melepaskan lebih banyak insulin.83 Glucovance adalah contoh obat kombinasi yang mengandung Glibenclamide dan Metformin.84
- Penghambat Alfa-glukosidase: Seperti Acarbose, bekerja dengan memperlambat penyerapan karbohidrat di usus.83
- Penghambat Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4 Inhibitor): Seperti Saxagliptin (terdapat dalam Kombiglyze XR yang dikombinasikan dengan Metformin), bekerja dengan meningkatkan kadar hormon inkretin yang merangsang pelepasan insulin dan menekan pelepasan glukagon.83
- Golongan Lain: Seperti Gliquidone.84
- Terapi Insulin: Jika OAD tidak lagi efektif mengontrol kadar gula darah, atau pada kondisi tertentu (misalnya, saat sakit berat atau operasi), terapi insulin mungkin diperlukan. Insulin dapat diberikan melalui suntikan.27 Ryzodeg, yang merupakan kombinasi insulin degludec (insulin basal kerja sangat panjang) dan insulin aspart (insulin prandial kerja cepat), adalah salah satu contoh premiks analog insulin yang dapat digunakan.85
Teknologi Kesehatan Canggih:
- Pemantau Glukosa Berkelanjutan (Continuous Glucose Monitors – CGM): Meskipun bukan penemuan yang sangat baru, penggunaan CGM semakin meluas dan merupakan teknologi penting dalam manajemen diabetes modern. CGM memungkinkan pemantauan kadar glukosa darah secara terus-menerus (setiap beberapa menit) sepanjang hari dan malam, memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang fluktuasi gula darah dibandingkan pemeriksaan glukosa darah mandiri (SMBG) dengan glukometer konvensional. Informasi ini sangat berharga bagi pasien dan dokter dalam menyesuaikan dosis obat, pola makan, dan aktivitas fisik untuk mencapai kontrol glikemik yang lebih baik.7
- Aplikasi Kesehatan (Health Apps): Banyak aplikasi seluler yang tersedia untuk membantu pasien DM Tipe 2 dalam mencatat asupan makanan, memantau aktivitas fisik, mengingatkan jadwal minum obat, dan mencatat hasil pemeriksaan gula darah. Beberapa aplikasi bahkan dapat terhubung dengan CGM atau glukometer untuk transfer data otomatis.
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
Beberapa tahun terakhir telah menyaksikan kemajuan signifikan dalam pengembangan obat-obatan baru untuk DM Tipe 2, banyak di antaranya menawarkan manfaat tambahan selain kontrol gula darah.
- Semaglutide (Ozempic, Wegovy):
- Ozempic: Merupakan agonis reseptor GLP-1 (Glucagon-Like Peptide-1) yang diberikan melalui injeksi subkutan sekali seminggu. Obat ini efektif dalam menurunkan kadar gula darah dan juga memiliki manfaat signifikan dalam menurunkan berat badan.84
- Wegovy: Juga mengandung semaglutide, pada bulan Maret 2024 mendapatkan persetujuan tambahan dari FDA untuk indikasi pengurangan risiko kejadian kardiovaskular mayor (seperti serangan jantung dan stroke) pada orang dewasa dengan penyakit kardiovaskular yang sudah ada dan obesitas atau kelebihan berat badan.69 Ini sangat relevan karena pasien diabetes memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi.
- Signifikansi untuk Lansia: Pemberian sekali seminggu dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan. Manfaat penurunan berat badan dan perlindungan kardiovaskular sangat penting bagi populasi lansia yang seringkali memiliki komorbiditas ini.
- Bexagliflozin (Brenzavvy): Obat ini, yang termasuk dalam golongan penghambat SGLT2 (Sodium-Glucose Cotransporter 2), disetujui oleh FDA pada bulan Oktober 2023 untuk pengobatan DM Tipe 2.85 Obat SGLT2 inhibitor bekerja dengan cara meningkatkan pembuangan glukosa melalui urin.
- Signifikansi untuk Lansia: Menambah pilihan terapi oral. Namun, penting untuk memperhatikan fungsi ginjal pada lansia saat menggunakan obat golongan SGLT2 inhibitor, karena efikasi dan keamanannya dapat dipengaruhi oleh laju filtrasi glomerulus (LFG).
- Jardiance (Empagliflozin) dan Synjardy (Empagliflozin/Metformin): Meskipun persetujuan FDA pada Juni 2023 yang disebutkan dalam cuplikan adalah untuk penggunaan pada populasi pediatrik (anak-anak dan remaja) 86, Empagliflozin (Jardiance) sendiri telah lama disetujui untuk orang dewasa dan memiliki data yang kuat mengenai manfaat kardiovaskular dan ginjal. Jardiance 10 mg juga disebutkan sebagai salah satu rekomendasi obat diabetes.84
- Signifikansi untuk Lansia: Manfaat kardiovaskular (mengurangi risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular, rawat inap karena gagal jantung) dan manfaat ginjal (memperlambat progresi penyakit ginjal diabetik) yang telah ditunjukkan oleh Empagliflozin pada populasi dewasa sangat relevan dan penting bagi pasien lansia dengan DM Tipe 2, yang seringkali memiliki risiko komplikasi ini.
- Informasi Tambahan dari Uji Klinis (Generik): Sebuah sumber menyebutkan adanya “Medication C” yang dalam uji klinis tahun 2024 menunjukkan hasil yang menjanjikan pada pasien lansia dengan DM Tipe 2, ditandai dengan penurunan kadar glukosa puasa dan risiko hipoglikemia yang rendah.75 Sayangnya, nama spesifik obat tersebut tidak disebutkan dalam cuplikan.
Perkembangan terkini dalam pengobatan DM Tipe 2 menunjukkan pergeseran fokus, tidak hanya pada penurunan kadar gula darah, tetapi juga pada perlindungan terhadap komplikasi makrovaskular (penyakit jantung dan stroke) dan mikrovaskular (penyakit ginjal, kerusakan saraf, dan masalah mata). Banyak obat baru, seperti agonis reseptor GLP-1 dan penghambat SGLT2, telah membuktikan manfaat signifikan dalam mengurangi risiko kardiovaskular dan ginjal, yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada penderita diabetes, terutama lansia.
Namun, penting untuk diingat bahwa manajemen DM Tipe 2 pada lansia harus bersifat holistik. Selain terapi farmakologis, edukasi berkelanjutan mengenai penyakit dan komplikasinya, perencanaan pola makan yang tepat, program aktivitas fisik yang disesuaikan dengan kemampuan, serta pemantauan kadar gula darah secara mandiri tetap merupakan komponen esensial dari perawatan yang berhasil.28
C. Penyakit Jantung (PJK dan Gagal Jantung)
Diagnosis Terkini:
Diagnosis penyakit jantung melibatkan serangkaian evaluasi, dimulai dari anamnesis (riwayat medis dan gejala) dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan meliputi:
- Elektrokardiogram (EKG): Merekam aktivitas listrik jantung untuk mendeteksi aritmia, tanda-tanda iskemia (kurangnya aliran darah ke otot jantung), atau infark miokard (serangan jantung).20
- Ekokardiogram: Menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran struktur dan fungsi jantung, termasuk katup jantung dan kemampuan pompa jantung. Ini adalah alat penting untuk mendeteksi kelainan jantung dengan lebih jelas.20
- Tes Darah: Untuk mengukur kadar kolesterol (profil lipid), enzim jantung (penanda kerusakan otot jantung seperti troponin), dan penanda inflamasi.20
- Pencitraan Lanjutan: Seperti CT scan jantung (untuk melihat kalsifikasi arteri koroner atau anatomi jantung), MRI jantung (untuk evaluasi detail struktur dan fungsi jantung serta jaringan parut), atau stress test (uji latih jantung) untuk menilai respons jantung terhadap aktivitas fisik.
- Kateterisasi Jantung (Angiografi Koroner): Dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis penyakit arteri koroner. Prosedur ini melibatkan pemasukan kateter tipis melalui pembuluh darah di lengan atau pangkal paha menuju arteri koroner, diikuti dengan penyuntikan zat kontras untuk memvisualisasikan penyempitan atau sumbatan pada arteri koroner.68 Fasilitas kesehatan modern seringkali memiliki Cardiac Diagnostic Center yang dilengkapi dengan teknologi canggih untuk deteksi dini dan akurat berbagai kondisi kardiovaskular.68
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Penatalaksanaan penyakit jantung bersifat multifaktorial:
- Perubahan Gaya Hidup: Sama seperti pada hipertensi dan diabetes, modifikasi gaya hidup sangat penting, meliputi diet jantung sehat (rendah lemak jenuh, rendah kolesterol, rendah garam, kaya serat), aktivitas fisik teratur sesuai kemampuan, berhenti merokok, dan manajemen stres.10
- Obat-obatan: Berbagai jenis obat digunakan tergantung kondisi spesifik pasien 87:
- Antiplatelet: Seperti Aspirin (Aspilets, Thrombo Aspilets, Cardio Aspirin), untuk mencegah pembentukan gumpalan darah.
- Statin: Seperti Atorvastatin, untuk menurunkan kadar kolesterol LDL (“kolesterol jahat”).
- Beta-Blocker: Seperti Bisoprolol (Concor), untuk mengurangi beban kerja jantung dan tekanan darah.
- ACE Inhibitor: Seperti Captopril (Tensicap), untuk merelaksasi pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah.
- Penghambat Kanal Kalsium (CCB): Seperti Amlodipine (Norvask), untuk melebarkan pembuluh darah.
- Diuretik: Seperti Furosemide (Lasix), untuk mengurangi penumpukan cairan pada kasus gagal jantung.
- Nitrat: Seperti Nitrogliserin (Nitrokaf Retard), untuk melebarkan pembuluh darah koroner dan meredakan angina (nyeri dada).
- Prosedur Intervensi:
- Angioplasti Koroner Perkutan (PCI) dengan Pemasangan Ring (Stent): Prosedur minimal invasif untuk membuka arteri koroner yang menyempit atau tersumbat dengan menggunakan balon dan kemudian memasang ring (stent) untuk menjaga arteri tetap terbuka.68
- Bedah Bypass Arteri Koroner (CABG): Prosedur bedah untuk membuat jalur baru (bypass) bagi aliran darah dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain untuk melewati arteri koroner yang tersumbat.
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024):
Bidang kardiologi intervensi terus mengalami perkembangan pesat:
- Ring Jantung (Stent) Generasi Baru:
- Bioadaptor: Ini adalah inovasi terbaru dalam teknologi stent, dirancang untuk lebih menyesuaikan diri dengan gerakan alami arteri. Setelah beberapa bulan terpasang, lapisan polimer pada bioadaptor akan diserap oleh tubuh, memungkinkan arteri untuk bergerak lebih bebas dan berpotensi mengurangi risiko komplikasi jangka panjang seperti pembentukan gumpalan darah di dalam stent (restenosis) atau trombosis stent.68
- Bioresorbable Scaffold (BVS) / Ring Jantung yang Dapat Diserap: BVS terbuat dari bahan polimer yang secara bertahap akan larut dan diserap oleh tubuh dalam waktu 2-3 tahun setelah arteri yang diobati pulih. Keunggulan utamanya adalah tidak meninggalkan implan logam permanen di dalam arteri, yang diharapkan dapat mengurangi risiko komplikasi jangka panjang dan memungkinkan pemulihan fungsi alami pembuluh darah. Teknologi ini masih terus dikembangkan dan dievaluasi, dengan laporan efektivitas sekitar 85-90% (berdasarkan referensi Lancet 2023 yang dikutip).68
- Teknologi Penggantian Katup Jantung Minimal Invasif:
- Edwards EVOQUE Tricuspid Valve Replacement System: Disetujui oleh FDA pada Februari 2024, sistem ini menawarkan pendekatan baru untuk penggantian katup trikuspid (katup antara atrium kanan dan ventrikel kanan jantung) tanpa memerlukan bedah jantung terbuka. Ini sangat bermanfaat bagi pasien dengan regurgitasi trikuspid (katup trikuspid bocor) yang parah dan berisiko tinggi untuk operasi konvensional.69
- TriClip G4 System: Mendapat persetujuan FDA pada April 2024, TriClip adalah sistem implan klip jantung yang digunakan untuk memperbaiki regurgitasi trikuspid melalui prosedur minimal invasif berbasis kateter. Klip ini menjepit daun katup trikuspid untuk mengurangi kebocoran.69
- Teknologi Defibrilasi Canggih:
- TZ Medical Adult and Pediatric Multi-Function Defibrillation Electrodes and Adaptors: Disetujui FDA pada Januari 2024, teknologi elektroda defibrilasi ini merupakan kemajuan dalam perawatan henti jantung darurat. Diharapkan dapat mengurangi waktu henti jantung dan meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien.69
- Platform Informatika Terintegrasi dan Telekonsultasi: Kemajuan dalam teknologi digital memungkinkan integrasi data pencitraan (seperti angiografi, ekokardiogram) dan data klinis pasien dari berbagai departemen. Platform ini mendukung tim medis multidisiplin dalam menangani kasus jantung yang kompleks, memfasilitasi diskusi dan konsultasi jarak jauh, serta mempercepat proses pengambilan keputusan diagnostik dan terapeutik.70
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
Beberapa obat baru yang disetujui FDA pada periode ini memiliki implikasi penting bagi pasien dengan penyakit jantung atau risiko kardiovaskular tinggi:
- Resmetirom (Rezdiffra): Disetujui FDA pada Maret 2024 untuk pengobatan orang dewasa dengan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) non-sirosis (sekarang disebut metabolic dysfunction-associated steatohepatitis atau MASH) dengan fibrosis hati sedang hingga lanjut. Resmetirom adalah agonis reseptor hormon tiroid beta dan merupakan obat pertama yang disetujui FDA untuk MASH. Kondisi MASH seringkali terkait dengan sindrom metabolik dan faktor risiko kardiovaskular seperti obesitas, diabetes, dan dislipidemia, sehingga penanganannya dapat berdampak positif pada kesehatan jantung secara keseluruhan.69
- Sotatercept (Winrevair): Disetujui FDA pada Maret 2024 untuk pengobatan orang dewasa dengan Hipertensi Arteri Pulmonal (PAH, WHO Grup 1). Sotatercept adalah protein fusi activin receptor type IIA-Fc dan merupakan terapi inhibitor sinyal aktivin pertama yang disetujui FDA untuk PAH. Dalam uji klinis, Sotatercept menunjukkan peningkatan kapasitas latihan (jarak jalan 6 menit) dan pengurangan risiko kematian hingga 84% bila dikombinasikan dengan terapi standar PAH.69 PAH dapat menjadi komplikasi dari penyakit jantung kiri atau kondisi paru kronis yang umum pada lansia, sehingga obat ini relevan.
- Wegovy (Semaglutide): Pada Maret 2024, FDA menyetujui indikasi tambahan untuk Wegovy (yang juga digunakan untuk manajemen berat badan) yaitu untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskular mayor pada orang dewasa dengan penyakit kardiovaskular yang sudah ada dan obesitas atau kelebihan berat badan.69 Ini penting karena banyak lansia dengan penyakit jantung juga mengalami obesitas, dan pengurangan risiko kardiovaskular tambahan sangat bermanfaat.
- Praluent (Alirocumab): Meskipun perluasan indikasi pada Maret 2024 adalah untuk pasien anak usia 8 tahun ke atas dengan Hiperkolesterolemia Familial Heterozigot (HeFH) 69, Alirocumab adalah inhibitor PCSK9 yang sangat poten dalam menurunkan kolesterol LDL. Kemajuan dalam terapi penurun kolesterol agresif ini dapat memiliki implikasi untuk pengelolaan kolesterol pada lansia dengan risiko kardiovaskular sangat tinggi di masa depan, meskipun penggunaannya pada lansia memerlukan pertimbangan cermat.
- Nexletol (bempedoic acid) dan Nexlizet (bempedoic acid and ezetimibe): Pada Maret 2024, FDA menyetujui indikasi baru untuk obat-obat ini, yaitu untuk pengurangan risiko kardiovaskular dan penurunan kolesterol LDL baik pada pencegahan primer (pasien tanpa riwayat penyakit kardiovaskular aterosklerotik) maupun sekunder. Obat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan statin, dan merupakan obat non-statin pertama yang diindikasikan untuk pasien pencegahan primer.69 Ini memberikan alternatif atau tambahan penting bagi statin, terutama untuk lansia yang mungkin tidak toleran terhadap statin atau memerlukan penurunan LDL-C lebih lanjut.
Perkembangan dalam penatalaksanaan penyakit jantung menunjukkan adanya pergeseran ke arah intervensi yang lebih dini dan lebih agresif, terutama dengan tersedianya teknologi diagnostik dan terapeutik yang canggih serta obat-obatan baru yang menjanjikan.68 Tujuannya adalah untuk mencegah progresi penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah komplikasi fatal.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa intervensi medis canggih seperti pemasangan ring atau terapi obat terbaru bukanlah “penyembuhan total” untuk penyakit jantung. Kepatuhan terhadap pengobatan jangka panjang (seringkali seumur hidup), partisipasi dalam program rehabilitasi jantung, dan komitmen terhadap perubahan gaya hidup yang berkelanjutan (diet sehat, olahraga, tidak merokok) tetap merupakan pilar utama dalam manajemen jangka panjang dan pencegahan kejadian kardiovaskular berulang.68 Tanpa perubahan gaya hidup yang komprehensif, risiko pembentukan plak baru atau penyempitan ulang pada area yang telah diobati tetap ada.68
D. Osteoporosis
Diagnosis Terkini:
Standar emas untuk diagnosis osteoporosis adalah pengukuran Kepadatan Mineral Tulang (Bone Mineral Density – BMD) menggunakan Dual-energy X-ray absorptiometry (DXA atau DEXA scan).18 Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada tulang belakang lumbar, pinggul (leher femur), dan kadang-kadang pergelangan tangan. Hasil BMD kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata orang dewasa muda yang sehat (T-score) atau dengan nilai rata-rata orang seusia dan sejenis kelamin (Z-score). Diagnosis osteoporosis ditegakkan jika T-score ≤−2.5. Selain BMD, evaluasi faktor risiko fraktur juga penting, yang dapat dilakukan menggunakan alat prediksi risiko seperti FRAX (Fracture Risk Assessment Tool).18 Pemeriksaan laboratorium lain mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyebab sekunder osteoporosis atau menilai metabolisme tulang.
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Tujuan utama pengobatan osteoporosis adalah untuk meningkatkan kepadatan tulang, mengurangi risiko patah tulang, dan meredakan nyeri jika fraktur telah terjadi. Penatalaksanaan meliputi:
- Suplementasi Kalsium dan Vitamin D: Ini adalah dasar dari semua regimen pengobatan osteoporosis. Kebutuhan kalsium dan vitamin D harian harus terpenuhi melalui diet dan/atau suplemen.33
- Obat-obatan Farmakologis:
- Bifosfonat: Merupakan obat lini pertama yang paling sering digunakan. Contohnya termasuk Alendronate (misalnya, Alovell) dan Risedronate (misalnya, Actonel). Obat ini bekerja dengan menghambat resorpsi tulang (penguraian tulang) oleh sel osteoklas.76
- Denosumab: Merupakan antibodi monoklonal yang juga menghambat resorpsi tulang dengan menargetkan RANK Ligand. Diberikan melalui suntikan subkutan setiap 6 bulan. (Perlu perhatian khusus terkait peringatan baru FDA, lihat di bawah).76
- Terapi Hormon: Terapi penggantian estrogen pada wanita pascamenopause dapat membantu mencegah kehilangan massa tulang, namun penggunaannya harus mempertimbangkan rasio manfaat dan risiko (misalnya, risiko kanker payudara, penyakit kardiovaskular).33 Terapi testosteron dapat dipertimbangkan pada pria dengan hipogonadisme dan osteoporosis.
- Modulator Reseptor Estrogen Selektif (SERM): Seperti Raloxifene, memiliki efek mirip estrogen pada tulang tetapi dapat memblokir efek estrogen pada jaringan lain seperti payudara dan rahim.
- Agen Anabolik: Seperti Teriparatide (analog hormon paratiroid), bekerja dengan merangsang pembentukan tulang baru. Biasanya digunakan untuk kasus osteoporosis berat atau pasien yang tidak merespons terapi antiresorptif.76
- Obat Pereda Nyeri: Jika terjadi fraktur, obat pereda nyeri seperti Natrium Diklofenak (Diflam) mungkin diresepkan.91
- Fisioterapi dan Olahraga: Latihan beban, latihan keseimbangan, dan latihan penguatan otot penting untuk menjaga kekuatan tulang, meningkatkan keseimbangan, dan mengurangi risiko jatuh.34
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024):
- OsteoboostTM: Ini adalah sebuah perangkat medis resep non-farmakologis yang inovatif, yang mendapatkan izin edar dari FDA pada Januari 2024. OsteoboostTM dirancang khusus untuk mengobati osteopenia (kepadatan tulang rendah, tahap sebelum osteoporosis) pada wanita pascamenopause. Perangkat ini berbentuk sabuk yang dikenakan di sekitar pinggul dan memberikan getaran mekanis yang terkalibrasi dan ditargetkan ke tulang belakang lumbar dan pinggul. Getaran ini bertujuan untuk merangsang aktivitas sel pembentuk tulang (osteoblas) dan dengan demikian membantu menjaga atau meningkatkan kepadatan dan kekuatan mineral tulang. Dalam studi klinis, penggunaan OsteoboostTM menunjukkan pengurangan signifikan dalam kehilangan kekuatan dan kepadatan tulang dibandingkan dengan kelompok kontrol (sham device).95
- Signifikansi untuk Lansia: OsteoboostTM menawarkan opsi terapi non-obat pertama yang disetujui secara spesifik untuk intervensi pada tahap osteopenia. Ini sangat penting karena dapat membantu mencegah progresi osteopenia menjadi osteoporosis yang lebih parah dan mengurangi risiko fraktur di kemudian hari. Sebagai perangkat yang aman dan mudah digunakan di rumah, ini bisa menjadi pilihan menarik bagi wanita lansia yang ingin proaktif menjaga kesehatan tulang mereka tanpa efek samping sistemik dari obat-obatan.
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
- Denosumab (Prolia): Meskipun Denosumab bukanlah obat baru, terdapat pembaruan keamanan penting dari FDA pada Januari 2024. FDA menambahkan Boxed Warning (peringatan paling serius) pada label Denosumab mengenai peningkatan risiko hipokalsemia berat (kadar kalsium darah yang sangat rendah) pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK) lanjut yang menggunakan obat ini.92
- Signifikansi untuk Lansia: Lansia seringkali memiliki penurunan fungsi ginjal seiring bertambahnya usia atau akibat penyakit penyerta seperti diabetes dan hipertensi. Peringatan baru ini sangat relevan karena menekankan perlunya skrining fungsi ginjal sebelum memulai terapi Denosumab dan pemantauan kadar kalsium yang ketat selama pengobatan, terutama pada lansia dengan PGK. Tidak ada obat osteoporosis baru lainnya yang disetujui oleh FDA atau EMA pada periode 2023-2024 yang secara spesifik disebutkan dalam cuplikan yang tersedia, selain pembaruan keamanan untuk Denosumab dan persetujuan perangkat OsteoboostTM. Sebuah tinjauan tahun 2024 76 membahas efikasi obat-obatan osteoporosis yang sudah ada pada populasi lansia, menyoroti bahwa meskipun obat-obatan tersebut umumnya efektif, data uji klinis spesifik pada kelompok usia sangat tua (misalnya, di atas 80 tahun) masih terbatas untuk beberapa jenis fraktur.
Fokus utama dalam pengobatan osteoporosis adalah pencegahan fraktur, karena fraktur akibat osteoporosis dapat menyebabkan nyeri kronis, disabilitas signifikan, penurunan kualitas hidup, dan bahkan peningkatan mortalitas pada lansia.18 Pengobatan osteoporosis seringkali bersifat jangka panjang, dan kepatuhan terhadap terapi – baik itu suplementasi kalsium dan vitamin D, obat-obatan resep, maupun program latihan fisik – menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kesehatan tulang dan mengurangi risiko fraktur di masa mendatang.
E. Demensia (termasuk Penyakit Alzheimer)
Diagnosis Terkini:
Diagnosis demensia, khususnya Penyakit Alzheimer (PA), adalah proses yang kompleks dan melibatkan beberapa tahapan:
- Evaluasi Klinis Komprehensif: Meliputi anamnesis (wawancara medis) rinci dengan pasien dan keluarga mengenai riwayat gejala, perubahan fungsi kognitif dan perilaku, serta riwayat medis lainnya. Pemeriksaan fisik dan neurologis juga dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari gangguan kognitif.73
- Tes Neuropsikologis (Tes Kognitif): Menggunakan serangkaian tes standar untuk menilai berbagai domain fungsi kognitif seperti memori, perhatian, bahasa, fungsi eksekutif, dan kemampuan visuospasial. Contoh tes yang sering digunakan adalah MMSE (Mini-Mental State Examination) dan MoCA (Montreal Cognitive Assessment).41 Skrining awal dapat menggunakan kuesioner seperti AD-8 INA yang diisi oleh informan (keluarga atau orang terdekat).41
- Pencitraan Otak:
- CT Scan atau MRI Otak Struktural: Untuk menyingkirkan penyebab struktural lain dari demensia (misalnya, tumor otak, stroke, hidrosefalus) dan untuk melihat adanya atrofi (penyusutan) otak, terutama pada area hipokampus yang khas pada PA.
- PET Scan Amiloid dan Tau: Teknologi pencitraan molekuler ini dapat mendeteksi adanya penumpukan protein abnormal beta-amiloid dan tau di otak, yang merupakan ciri patologis utama PA. Ini membantu dalam konfirmasi diagnosis dan membedakan PA dari jenis demensia lain.
- Pemeriksaan Biomarker:
- Cairan Serebrospinal (CSF): Analisis CSF yang diperoleh melalui pungsi lumbal dapat mengukur kadar protein beta-amiloid (Aβ42), total-tau (t-tau), dan fosforilasi-tau (p-tau). Pola biomarker tertentu (Aβ42 rendah, t-tau dan p-tau tinggi) sangat sugestif untuk PA.
- Tes Darah untuk Biomarker Alzheimer: Ini adalah area penelitian yang berkembang pesat. FDA telah memberikan izin untuk beberapa tes darah yang dapat mendeteksi biomarker terkait Alzheimer (seperti rasio Aβ42/Aβ40 atau p-tau). Meskipun belum sepenuhnya menggantikan pemeriksaan CSF atau PET scan, tes darah ini menawarkan metode yang kurang invasif dan lebih mudah diakses untuk skrining atau membantu dalam proses diagnostik.96
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Hingga beberapa tahun terakhir, pengobatan untuk PA bersifat simtomatik, bertujuan untuk meringankan gejala kognitif dan perilaku, tetapi tidak menghentikan atau memperlambat progresi penyakit secara signifikan.
- Obat untuk Gejala Kognitif:
- Inhibitor Kolinesterase: Seperti Donepezil, Rivastigmine, dan Galantamine. Obat ini bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin, neurotransmitter yang penting untuk memori dan pembelajaran, di otak. Biasanya digunakan untuk PA tahap ringan hingga sedang.97
- Antagonis Reseptor NMDA: Seperti Memantine. Obat ini bekerja dengan meregulasi aktivitas glutamat, neurotransmitter lain yang terlibat dalam fungsi kognitif. Biasanya digunakan untuk PA tahap sedang hingga berat, kadang dikombinasikan dengan inhibitor kolinesterase.97
- Pengelolaan Gejala Perilaku dan Psikologis Demensia (BPSD atau NPS): Gejala seperti agitasi, agresi, depresi, ansietas, psikosis (halusinasi, delusi), dan gangguan tidur sering terjadi pada penderita demensia. Pendekatan lini pertama adalah intervensi non-farmakologis (modifikasi lingkungan, terapi perilaku, musik, dll.). Jika tidak efektif atau gejala sangat berat, obat-obatan seperti antipsikotik, antidepresan, atau ansiolitik dapat dipertimbangkan, namun penggunaannya harus hati-hati karena potensi efek samping pada lansia.97
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024):
Selain kemajuan dalam diagnostik biomarker, penekanan juga diberikan pada intervensi non-farmakologis yang didukung teknologi:
- Terapi Modifikasi Perilaku, Latihan Kognitif, dan Olahraga: Pendekatan ini semakin diakui pentingnya. Program latihan kognitif terstruktur, seringkali menggunakan platform digital atau aplikasi, bertujuan untuk melatih fungsi kognitif tertentu. Aktivitas fisik teratur juga terbukti bermanfaat untuk kesehatan otak secara umum dan dapat membantu memperlambat penurunan kognitif.73
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
Era baru dalam pengobatan PA telah dimulai dengan persetujuan obat-obatan yang menargetkan patologi dasar penyakit, yaitu akumulasi plak beta-amiloid.
- Donanemab (Kisunla): Disetujui oleh FDA pada Juli 2024 untuk pengobatan Penyakit Alzheimer tahap awal, yaitu pada pasien dengan gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment – MCI) akibat Alzheimer atau demensia Alzheimer tahap ringan. Donanemab adalah antibodi monoklonal yang dirancang untuk membersihkan plak beta-amiloid yang terakumulasi di otak. Uji klinis menunjukkan bahwa Donanemab dapat mengurangi laju penurunan kognitif dan fungsional pada pasien yang memenuhi kriteria.98
- Signifikansi untuk Lansia: Menawarkan harapan baru untuk terapi modifikasi penyakit yang dapat memperlambat progresi PA jika diberikan pada tahap awal. Penggunaannya memerlukan konfirmasi adanya patologi amiloid (melalui PET scan amiloid atau biomarker CSF/darah) dan pemantauan ketat terhadap potensi efek samping, terutama ARIA (Amyloid-Related Imaging Abnormalities), yang bisa berupa edema (pembengkakan) atau mikrohemoragi (perdarahan kecil) di otak.
- Lecanemab (Leqembi): Meskipun persetujuan penuhnya oleh FDA terjadi pada Juli 2023 (sedikit di luar fokus utama 2024, namun sangat relevan), Lecanemab juga merupakan antibodi monoklonal anti-amiloid yang menunjukkan kemampuan untuk memperlambat laju penurunan kognitif pada pasien PA tahap awal. Seperti Donanemab, Lecanemab menargetkan dan membantu menghilangkan plak beta-amiloid dari otak.99
- Signifikansi untuk Lansia: Bersama dengan Donanemab, Lecanemab menandai pergeseran penting dalam paradigma pengobatan PA, dari sekadar mengatasi gejala menjadi upaya memodifikasi perjalanan penyakit. Syarat penggunaan dan pemantauan efek sampingnya serupa dengan Donanemab.
- Obat untuk Agitasi pada PA: Agitasi adalah salah satu gejala BPSD yang paling menantang dan mengganggu. Beberapa agen sedang dalam tahap uji klinis (data dari periode Januari 2017 – Februari 2023, namun relevan untuk update hasil di 2023-2024) untuk mengatasi agitasi pada PA, termasuk Brexpiprazole (antipsikotik atipikal), Cannabinoid, Dexmedetomidine (sedatif), Dextromethorphan (sering dikombinasikan dengan quinidine), Escitalopram (antidepresan SSRI), Masupirdine, dan Prazosin (alpha-blocker).97 Hasil dari uji klinis yang lebih baru (2023-2024) untuk agen-agen ini akan sangat dinantikan.
- Signifikansi untuk Lansia: Ketersediaan obat yang aman dan efektif untuk mengatasi agitasi akan sangat meningkatkan kualitas hidup pasien PA dan mengurangi beban pengasuh.
Persetujuan obat-obatan seperti Donanemab dan Lecanemab menandai pergeseran signifikan dari pengobatan simtomatik ke terapi yang bertujuan untuk memodifikasi patologi dasar Penyakit Alzheimer, khususnya penumpukan plak amiloid. Ini adalah kemajuan besar setelah puluhan tahun penelitian. Namun, keberhasilan terapi modifikasi penyakit ini sangat bergantung pada deteksi yang sangat dini. Obat-obat ini paling efektif jika diberikan pada tahap awal penyakit, yaitu saat gangguan kognitif masih ringan atau demensia baru pada tahap ringan. Hal ini semakin meningkatkan urgensi untuk mengembangkan metode skrining dan diagnosis dini yang lebih baik, akurat, dan mudah diakses, termasuk pengembangan biomarker darah yang lebih andal.41 Jendela terapeutik untuk obat-obat baru ini tampaknya terbatas pada fase awal penyakit, sebelum kerusakan otak menjadi terlalu luas.
F. Stroke
Diagnosis Terkini:
Diagnosis stroke adalah diagnosis darurat yang memerlukan tindakan cepat. Penilaian klinis awal sering menggunakan skala FAST (Face, Arms, Speech, Time) untuk mengenali tanda-tanda stroke dengan cepat. Langkah diagnostik utama adalah pencitraan otak:
- CT Scan Otak (Non-kontras): Biasanya merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan karena cepat dan tersedia luas. Tujuannya adalah untuk membedakan antara stroke iskemik (sumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan), karena penanganannya sangat berbeda.
- MRI Otak: Lebih sensitif daripada CT scan dalam mendeteksi stroke iskemik pada tahap awal dan memberikan gambaran yang lebih detail mengenai area otak yang terkena serta luasnya kerusakan. MRI juga dapat membantu mengidentifikasi penyebab stroke. Pemeriksaan tambahan mungkin meliputi CT Angiography (CTA) atau MR Angiography (MRA) untuk melihat pembuluh darah di otak dan leher, ekokardiogram untuk mencari sumber emboli dari jantung, dan tes darah untuk menilai faktor risiko (gula darah, kolesterol, fungsi pembekuan darah).
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Penatalaksanaan stroke akut tergantung pada jenisnya:
- Stroke Iskemik Akut:
- Terapi Trombolitik Intravena: Pemberian obat recombinant tissue Plasminogen Activator (rtPA) atau alteplase secara intravena untuk melarutkan gumpalan darah yang menyumbat arteri. Terapi ini sangat efektif jika diberikan dalam jendela waktu terbatas setelah onset gejala (biasanya dalam 3 hingga 4,5 jam).100
- Trombektomi Mekanis: Prosedur endovaskular di mana kateter dimasukkan melalui arteri (biasanya di pangkal paha) menuju lokasi sumbatan di otak. Gumpalan darah kemudian ditarik keluar menggunakan perangkat khusus (stent retriever atau kateter aspirasi). Trombektomi efektif untuk sumbatan pada arteri besar dan dapat dilakukan hingga 24 jam setelah onset gejala pada pasien tertentu yang memenuhi kriteria.
- Stroke Hemoragik Akut:
- Fokus utama adalah mengontrol tekanan darah yang sangat tinggi, menghentikan penggunaan obat pengencer darah (jika pasien mengonsumsinya), dan pada beberapa kasus, mungkin diperlukan intervensi bedah untuk mengangkat hematoma (kumpulan darah) atau memperbaiki malformasi vaskular yang pecah.
- Pencegahan Sekunder (Setelah Stroke):
- Obat Antiplatelet: Seperti Aspirin, Clopidogrel, atau kombinasi Aspirin-Dipyridamole, untuk mencegah pembentukan gumpalan darah baru pada pasien stroke iskemik non-kardioemboli.
- Antikoagulan: Seperti Warfarin atau Direct Oral Anticoagulants (DOACs) seperti Dabigatran, Rivaroxaban, Apixaban, Edoxaban, untuk pasien stroke iskemik yang disebabkan oleh emboli dari jantung (misalnya, pada fibrilasi atrium).
- Pengendalian faktor risiko: Hipertensi, diabetes, dislipidemia, berhenti merokok, modifikasi gaya hidup.
- Rehabilitasi Stroke: Merupakan bagian integral dari pemulihan, meliputi fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan dukungan psikologis untuk membantu pasien memaksimalkan kemandirian fungsional.
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024):
Inovasi dalam penanganan stroke lebih banyak terfokus pada perbaikan sistem layanan, teknologi reperfusi, dan rehabilitasi:
- Teknologi Rehabilitasi Canggih: Penggunaan robotika dalam fisioterapi, virtual reality (VR) untuk simulasi aktivitas sehari-hari, dan antarmuka otak-komputer (brain-computer interfaces – BCI) untuk membantu pasien mengontrol perangkat eksternal atau memfasilitasi neuroplastisitas, semuanya menunjukkan potensi dalam meningkatkan hasil pemulihan fungsi motorik dan kognitif pasca-stroke.42
- Inovasi Sistem Layanan Stroke: Program seperti “Hotline Code Stroke” (contoh: J-NGEPODS di RSD dr. Soebandi Jember, Juni 2024) bertujuan untuk mempercepat alur layanan stroke mulai dari pra-rumah sakit hingga penanganan di unit stroke. Ini melibatkan edukasi kepada tenaga kesehatan di fasilitas primer dan masyarakat mengenai pengenalan gejala stroke dan pentingnya respons cepat, serta koordinasi yang lebih baik antar fasilitas kesehatan.74 Ini adalah bentuk inovasi sistemik yang krusial.
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024):
Cuplikan yang tersedia 42 lebih banyak membahas inovasi dalam sistem perawatan, teknologi rehabilitasi, dan strategi pencegahan sekunder, daripada penemuan obat stroke akut baru yang spesifik disetujui pada periode 2023-2024. Penelitian terus berlanjut dalam mencari agen neuroprotektif yang dapat melindungi sel otak dari kerusakan selama stroke, serta pengembangan strategi reperfusi (pembukaan kembali sumbatan arteri) yang lebih aman dan efektif.
Setelah serangan stroke, fokus utama beralih ke pencegahan sekunder untuk mengurangi risiko stroke berulang. Ini melibatkan pengelolaan agresif terhadap faktor-faktor risiko vaskular seperti hipertensi, diabetes melitus, fibrilasi atrium, dan dislipidemia, serta penggunaan terapi antitrombotik (antiplatelet atau antikoagulan) yang tepat sesuai dengan penyebab stroke awal.42
Peran krusial rehabilitasi multidisiplin juga tidak dapat diabaikan. Pemulihan pasca-stroke adalah proses yang seringkali panjang dan kompleks, membutuhkan keterlibatan tim rehabilitasi yang terdiri dari fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara, psikolog, dan pekerja sosial. Dukungan dari keluarga dan lingkungan juga sangat penting untuk membantu pasien mencapai tingkat kemandirian fungsional setinggi mungkin dan meningkatkan kualitas hidup mereka.42
G. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Diagnosis Terkini:
Diagnosis PPOK didasarkan pada kombinasi riwayat gejala (batuk kronis, produksi dahak, sesak napas), riwayat paparan faktor risiko (terutama merokok), dan konfirmasi adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat persisten melalui pemeriksaan spirometri. Spirometri adalah tes fungsi paru non-invasif yang mengukur jumlah udara yang dapat dihirup dan dihembuskan serta seberapa cepat udara dapat dihembuskan. Hasil spirometri yang menunjukkan rasio FEV1/FVC (Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik dibagi Kapasitas Vital Paksa) pasca-bronkodilator kurang dari 0,70 mengkonfirmasi adanya obstruksi aliran udara yang persisten. Pemeriksaan penunjang lain seperti rontgen dada atau CT scan toraks dapat membantu menyingkirkan kondisi paru lain atau mengidentifikasi adanya emfisema atau komplikasi.
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Tujuan utama penatalaksanaan PPOK adalah untuk meredakan gejala, meningkatkan toleransi aktivitas fisik, meningkatkan kualitas hidup, mencegah dan mengobati eksaserbasi (perburukan akut), serta mengurangi mortalitas.
- Berhenti Merokok: Ini adalah intervensi tunggal yang paling penting dan efektif dalam memperlambat progresi PPOK dan mengurangi gejala.45 Dukungan dan terapi untuk berhenti merokok harus ditawarkan kepada semua pasien PPOK yang masih merokok.
- Terapi Farmakologis:
- Bronkodilator: Merupakan obat utama untuk PPOK, bekerja dengan merelaksasi otot-otot di sekitar saluran napas sehingga melebarkan jalan napas dan memudahkan pernapasan. Ada dua jenis utama:
- Beta-2 Agonis: Kerja singkat (SABA, misalnya Salbutamol) untuk meredakan gejala akut, dan kerja panjang (LABA, misalnya Salmeterol, Formoterol) untuk pemeliharaan jangka panjang.
- Antikolinergik (Antimuskarinik): Kerja singkat (SAMA, misalnya Ipratropium bromida) dan kerja panjang (LAMA, misalnya Tiotropium, Glycopyrronium) juga untuk pemeliharaan jangka panjang.102 Seringkali LABA dan LAMA dikombinasikan dalam satu inhaler.
- Kortikosteroid Inhalasi (ICS): Seperti Fluticasone atau Budesonide, digunakan untuk mengurangi peradangan di saluran napas. Biasanya direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan riwayat eksaserbasi yang sering atau dengan komponen eosinofilik. ICS sering dikombinasikan dengan LABA (misalnya, Fluticasone/Salmeterol atau Budesonide/Formoterol) atau bahkan dengan LABA dan LAMA (terapi tripel).102
- Obat lain seperti inhibitor fosfodiesterase-4 (Roflumilast), mukolitik, dan antibiotik (untuk eksaserbasi bakterial atau pencegahan pada kasus tertentu).
- Bronkodilator: Merupakan obat utama untuk PPOK, bekerja dengan merelaksasi otot-otot di sekitar saluran napas sehingga melebarkan jalan napas dan memudahkan pernapasan. Ada dua jenis utama:
- Terapi Oksigen Jangka Panjang: Diberikan kepada pasien PPOK dengan hipoksemia kronis (kadar oksigen darah rendah yang persisten) untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup.45
- Program Rehabilitasi Paru: Program komprehensif yang meliputi latihan fisik, edukasi, dukungan nutrisi, dan konseling psikososial untuk membantu pasien mengelola gejalanya dan meningkatkan kemampuan fungsional.45
- Manajemen Eksaserbasi Akut: Eksaserbasi PPOK ditandai dengan perburukan gejala yang memerlukan peningkatan terapi. Penanganannya meliputi peningkatan dosis bronkodilator, pemberian kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antibiotik jika ada tanda infeksi bakteri.
- Pembedahan: Pada kasus PPOK yang sangat berat dan tertentu (misalnya, emfisema berat dengan bula besar), prosedur seperti operasi pengurangan volume paru atau transplantasi paru dapat dipertimbangkan, meskipun jarang dilakukan.45
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024):
Salah satu perkembangan terbaru dalam obat PPOK adalah:
- Ensifentrine: Obat ini mendapatkan persetujuan dari FDA pada Juli 2024 untuk pengobatan pemeliharaan PPOK.85 Ensifentrine adalah inhibitor ganda fosfodiesterase 3 dan 4 (PDE3 dan PDE4) yang diberikan melalui inhalasi. Mekanisme kerjanya yang unik ini diharapkan dapat memberikan efek bronkodilatasi dan anti-inflamasi.
- Signifikansi untuk Lansia: Penambahan Ensifentrine ke dalam armamentarium terapi PPOK memberikan pilihan baru untuk manajemen jangka panjang, terutama bagi pasien yang mungkin belum optimal dengan terapi yang ada. Profil keamanan dan efikasinya pada populasi lansia, yang seringkali memiliki komorbiditas, perlu terus dipantau dalam penggunaan klinis paska-pemasaran.
Cuplikan lain yang tersedia 45 lebih banyak membahas pendekatan pengobatan PPOK yang sudah mapan dan umum digunakan. Tidak ada obat PPOK baru lainnya yang disetujui pada periode 2023-2024 yang disebutkan secara spesifik dalam materi riset yang dianalisis.
Salah satu aspek krusial dalam manajemen PPOK adalah pencegahan dan pengelolaan eksaserbasi akut. Eksaserbasi tidak hanya memperburuk gejala secara signifikan dan menurunkan kualitas hidup, tetapi juga dapat mempercepat laju penurunan fungsi paru, meningkatkan risiko rawat inap, dan bahkan meningkatkan mortalitas.45 Oleh karena itu, strategi untuk mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, termasuk vaksinasi (influenza dan pneumokokus), terapi farmakologis yang optimal, dan edukasi pasien mengenai pengenalan dini tanda-tanda perburukan, sangatlah penting.
Penelitian PPOK modern juga semakin mengarah pada pendekatan fenotipik. PPOK adalah penyakit yang heterogen dengan manifestasi klinis yang bervariasi antar individu. Identifikasi fenotipe klinis yang berbeda – misalnya, pasien dengan dominasi gejala bronkitis kronis, pasien dengan dominasi emfisema, atau pasien dengan adanya inflamasi eosinofilik di saluran napas – dapat membantu dalam pemilihan terapi yang lebih bertarget dan personal, sehingga berpotensi meningkatkan respons terhadap pengobatan. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam cuplikan, ini adalah arah perkembangan penting dalam riset PPOK.
H. Kanker
Diagnosis Terkini:
Diagnosis kanker melibatkan berbagai modalitas pemeriksaan untuk mengkonfirmasi keberadaan sel kanker, menentukan jenis dan stadiumnya, serta menilai penyebarannya:
- Biopsi Jaringan: Pengambilan sampel jaringan dari area yang dicurigai kanker untuk diperiksa di bawah mikroskop oleh ahli patologi. Ini adalah standar emas untuk diagnosis definitif kanker.
- Tes Pencitraan: Seperti CT scan, MRI, PET scan, USG, dan rontgen, digunakan untuk mendeteksi lokasi tumor, ukurannya, dan apakah kanker telah menyebar ke organ lain (metastasis).
- Tes Darah: Dapat meliputi pemeriksaan penanda tumor (tumor markers), yaitu zat yang diproduksi oleh sel kanker atau oleh tubuh sebagai respons terhadap kanker. Penanda tumor dapat membantu dalam diagnosis, pemantauan respons terapi, atau deteksi kekambuhan, meskipun tidak semua jenis kanker memiliki penanda tumor yang spesifik atau sensitif. Tes darah umum juga dilakukan untuk menilai fungsi organ dan status kesehatan secara keseluruhan.
- Tes Genetik Tumor (Profil Genomik): Analisis DNA dan RNA dari sel kanker untuk mengidentifikasi mutasi genetik spesifik, perubahan kromosom, atau biomarker lain yang dapat memengaruhi pilihan terapi, terutama untuk terapi target dan imunoterapi.
- Liquid Biopsy: Ini adalah teknologi diagnostik yang relatif baru dan berkembang pesat. Liquid biopsy melibatkan analisis sampel darah (atau cairan tubuh lain seperti urin atau saliva) untuk mendeteksi fragmen DNA tumor yang bersirkulasi (circulating tumor DNA – ctDNA), sel tumor yang bersirkulasi (circulating tumor cells – CTCs), atau biomarker lain yang dilepaskan oleh tumor. Keunggulannya adalah sifatnya yang non-invasif atau minimal invasif dibandingkan biopsi jaringan konvensional. Liquid biopsy memiliki potensi besar untuk diagnosis dini, pemantauan respons terapi secara real-time, deteksi resistensi obat, dan identifikasi kekambuhan kanker lebih awal.55
Pilihan Terapi Konvensional dan Obat-Obatan:
Penatalaksanaan kanker bersifat multimodal dan seringkali melibatkan kombinasi dari beberapa jenis terapi, tergantung pada jenis kanker, stadium, lokasi, kondisi umum pasien, dan preferensi pasien.
- Operasi (Bedah): Pengangkatan tumor kanker beserta sebagian jaringan sehat di sekitarnya. Seringkali merupakan langkah pertama dan utama untuk kanker stadium dini yang terlokalisir.50
- Kemoterapi: Penggunaan obat-obatan sitotoksik untuk membunuh sel kanker atau menghentikan pertumbuhannya. Kemoterapi dapat diberikan secara oral atau melalui suntikan (intravena) dan bersifat sistemik, artinya bekerja di seluruh tubuh.50
- Radioterapi (Terapi Radiasi): Menggunakan sinar radiasi berenergi tinggi (seperti sinar-X atau proton) untuk merusak DNA sel kanker dan membunuhnya. Radioterapi dapat bersifat lokal (ditujukan pada area spesifik tumor) dan sering digunakan sebelum atau sesudah operasi, atau sebagai terapi utama pada beberapa jenis kanker. Metode radioterapi canggih meliputi IMRT (Intensity-Modulated Radiotherapy) dan SBRT (Stereotactic Body Radiotherapy) yang memungkinkan penyinaran yang lebih presisi ke target tumor dengan meminimalkan paparan radiasi ke jaringan sehat di sekitarnya.50
- Terapi Hormon: Digunakan untuk jenis kanker yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon, seperti kanker payudara (sensitif estrogen/progesteron) dan kanker prostat (sensitif androgen). Terapi ini bekerja dengan memblokir produksi hormon atau menghalangi kerja hormon pada sel kanker.50
- Terapi Transplantasi Sel Induk (Stem Cell Transplant / Transplantasi Sumsum Tulang): Prosedur untuk menggantikan sel-sel sumsum tulang yang rusak (akibat kanker atau pengobatan kanker dosis tinggi) dengan sel induk yang sehat, baik dari pasien sendiri (autologus) maupun dari donor (alogenik).50
Teknologi Kesehatan Canggih (Fokus 2023-2024 dan seterusnya):
Bidang onkologi adalah salah satu area yang mengalami perkembangan paling pesat dalam teknologi dan terapi baru:
- Imunoterapi: Merupakan terobosan besar dalam pengobatan kanker. Imunoterapi bekerja dengan cara merangsang atau “melepaskan rem” pada sistem kekebalan tubuh pasien sendiri agar lebih efektif mengenali dan menyerang sel kanker. Beberapa jenis imunoterapi yang utama meliputi:
- Pemblokir Titik Pemeriksaan Imun (Immune Checkpoint Inhibitors): Seperti antibodi yang menargetkan PD-1, PD-L1, atau CTLA-4. Obat-obat ini telah menunjukkan hasil yang signifikan dan tahan lama pada berbagai jenis kanker, termasuk melanoma, kanker paru-paru, kanker ginjal, dan lainnya.50
- Terapi Sel T CAR (Chimeric Antigen Receptor T-cell Therapy): Melibatkan pengambilan sel T (jenis sel imun) dari pasien, merekayasanya secara genetik di laboratorium agar dapat mengenali dan menyerang sel kanker secara spesifik, kemudian mengembalikannya ke tubuh pasien. Sangat efektif untuk beberapa jenis kanker darah seperti leukemia dan limfoma.
- Terapi Target (Targeted Therapy): Menggunakan obat-obatan atau zat lain yang dirancang untuk secara spesifik menargetkan molekul (seperti protein atau gen) yang terlibat dalam pertumbuhan, progresi, dan penyebaran sel kanker. Karena lebih spesifik, terapi target diharapkan memiliki efektivitas yang lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah pada sel normal dibandingkan kemoterapi konvensional.50 Pemilihan terapi target seringkali didasarkan pada hasil profil genomik tumor pasien.
- Terapi Gen: Merupakan pendekatan yang masih banyak dalam tahap eksperimental, melibatkan modifikasi materi genetik sel (misalnya, memperbaiki gen yang rusak atau memasukkan gen baru) untuk melawan kanker. Ini termasuk penggunaan virus onkolitik.50
- Terapi Virus Onkolitik: Menggunakan virus yang telah direkayasa secara genetik agar dapat secara selektif menginfeksi, bereplikasi di dalam, dan akhirnya membunuh sel kanker, sambil merangsang respons imun anti-tumor.55
- Kecerdasan Buatan (AI) dalam Diagnosis dan Prognosis: Algoritma AI semakin banyak dikembangkan dan digunakan untuk membantu dalam analisis citra medis (misalnya, mendeteksi tumor pada mamogram atau CT scan), memprediksi respons pasien terhadap terapi tertentu, atau mengstratifikasi risiko pasien. Contohnya adalah Serial CTRS, alat prognostik berbasis AI untuk Kanker Paru Non-Sel Kecil (NSCLC), yang mendapatkan status Breakthrough Device Designation dari FDA pada Februari 2025 (kemungkinan merujuk pada tahun fiskal atau proyeksi, karena laporan ini fokus pada 2023-2024).66
Obat-obatan Baru yang Ditemukan/Disetujui (Fokus 2023-2024-2025 dari cuplikan):
Persetujuan obat kanker baru terus bermunculan, mencerminkan dinamisme penelitian di bidang ini. Beberapa contoh yang relevan dari cuplikan (dengan catatan bahwa beberapa tanggal mungkin merujuk pada tahun fiskal atau proyeksi ke depan, namun trennya jelas):
- Tislelizumab-jsgr (Tevimbra) dalam kombinasi dengan Kemoterapi Platinum: Disetujui oleh FDA pada Maret 2025 (kemungkinan proyeksi) sebagai terapi lini pertama untuk orang dewasa dengan Karsinoma Sel Skuamosa Esofagus (ESCC) stadium lanjut yang mengekspresikan PD-L1, berdasarkan hasil uji klinis Fase 3 RATIONALE-306.67
- Pembrolizumab (Keytruda) dalam kombinasi dengan Trastuzumab dan Kemoterapi: Disetujui oleh FDA pada Maret 2025 (kemungkinan proyeksi) sebagai terapi lini pertama untuk orang dewasa dengan adenokarsinoma lambung atau gastroesophageal junction (GEJ) stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau metastatik, yang HER2-positif dan tumornya mengekspresikan PD-L1 (CPS ), berdasarkan hasil uji klinis KEYNOTE-811.67
- Berbagai persetujuan dan designasi lain pada Februari 2025 (kemungkinan proyeksi): Termasuk penerimaan BLA (Biologics License Application) untuk Odronextamab pada Limfoma Folikular Relaps/Refrakter, designasi RMAT (Regenerative Medicine Advanced Therapy) untuk Gemogenovatucel-T pada Kanker Ovarium Lanjut, designasi Obat Yatim (Orphan Drug) untuk 225Ac-SSO110 pada Kanker Paru Sel Kecil, dan lainnya.66
Pendekatan pengobatan kanker modern, terutama dengan adanya imunoterapi dan terapi target, semakin mengarah pada personalisasi. Pemahaman yang lebih baik tentang biologi tumor dan interaksinya dengan sistem imun memungkinkan pemilihan terapi yang paling sesuai untuk setiap pasien, dengan tujuan memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan toksisitas.
Namun, pengobatan kanker pada lansia tetap menjadi tantangan. Lansia mungkin memiliki tolerabilitas yang lebih rendah terhadap terapi agresif, lebih banyak penyakit penyerta (komorbiditas) yang dapat memengaruhi pilihan dan hasil pengobatan, serta pertimbangan terkait kualitas hidup yang sangat penting. Oleh karena itu, keputusan pengobatan kanker pada lansia harus selalu bersifat individual, melibatkan diskusi multidisiplin antara onkologis, geriatris (jika perlu), dan spesialis lain, serta mempertimbangkan preferensi dan kondisi pasien secara keseluruhan.
V. Pengobatan Herbal dan Alternatif untuk Penyakit Kronis pada Lansia
Seiring dengan perkembangan pengobatan medis konvensional, minat masyarakat terhadap pengobatan herbal dan alternatif untuk mengatasi penyakit kronis juga cukup tinggi. Banyak lansia atau keluarga mereka mencari opsi tambahan atau pengganti dengan harapan mendapatkan manfaat penyembuhan dengan efek samping yang lebih minimal. Penting untuk mendekati topik ini dengan kritis, berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia, dan selalu mengutamakan keamanan pasien.
Secara umum, penggunaan obat herbal sebagai terapi pendamping seringkali didasari oleh anggapan bahwa herbal memberikan manfaat tambahan dalam membantu kondisi tubuh secara umum tanpa menimbulkan efek samping yang signifikan dibandingkan obat medis.105 Namun, perlu diingat bahwa klaim efektivitas dan keamanan banyak produk herbal belum sepenuhnya teruji melalui penelitian klinis yang ketat dan terstandarisasi seperti halnya obat-obatan konvensional.57 Kurangnya standarisasi dalam produksi herbal juga dapat menyebabkan variabilitas kandungan bahan aktif dan potensi kontaminasi.
Berikut adalah tinjauan beberapa tanaman herbal yang sering dikaitkan dengan penyakit kronis tertentu, beserta catatan mengenai efikasi dan keamanannya berdasarkan informasi yang tersedia:
A. Hipertensi
Beberapa tanaman herbal telah diteliti potensinya untuk membantu menurunkan tekanan darah. Penggunaan herbal ini seringkali sebagai terapi komplementer atau alternatif di masyarakat.26
- Bawang Putih (Allium sativum): Mengandung senyawa allicin yang diduga dapat meningkatkan produksi oksida nitrat, sehingga membantu melebarkan pembuluh darah dan mengurangi tekanan darah.108 Beberapa penelitian menunjukkan bawang putih dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.109 Black garlic (bawang putih yang difermentasi) juga dilaporkan efektif menurunkan tekanan darah.26
- Jahe (Zingiber officinale): Senyawa dalam jahe diduga memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan CCB. Konsumsi jahe secara rutin (2-4 gram per hari) dikaitkan dengan risiko hipertensi yang lebih rendah.108
- Seledri (Apium graveolens): Populer di Tiongkok sebagai obat darah tinggi alami. Kandungan serat tinggi dan senyawa lain di dalamnya dipercaya memiliki kinerja mirip CCB.108 Daun seledri juga dilaporkan efektif.26
- Daun Kemangi/Basil (Ocimum basilicum): Mengandung eugenol yang dapat memblokir reaksi kalsium, melebarkan pembuluh darah, mirip dengan kerja obat CCB.26 Teh basil sebagai tambahan obat antihipertensi menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan.26
- Kayu Manis (Cinnamomum verum): Sebuah studi menunjukkan kayu manis dapat membantu menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada penderita diabetes tipe 2, yang seringkali memiliki komorbiditas hipertensi. Namun, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan.108
- Kapulaga (Elettaria cardamomum): Diduga dapat menurunkan tekanan darah dengan menghambat reaksi kalsium, mirip CCB.108
- Biji Rami (Linum usitatissimum): Mengandung asam lemak omega-3 yang bermanfaat menurunkan tekanan darah dan kadar trigliserida, serta mencegah penumpukan plak.108
- Thyme (Thymus vulgaris): Mengandung asam rosmarinic yang dapat meningkatkan sirkulasi darah dan menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), mirip ACE inhibitor.108
- Tanaman Lain: Daun cincau hijau (Cocculus orbiculatus), teh bawang dayak, rebusan daun belimbing wuluh, perasan labu siam, dan jus semangka juga dilaporkan memiliki efek menurunkan tekanan darah dalam beberapa studi.26
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Beberapa tanaman herbal telah digunakan secara tradisional dan diteliti potensinya dalam membantu mengelola kadar gula darah.
- Lidah Buaya (Aloe vera): Penelitian menunjukkan lidah buaya dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah puasa dan HbA1c, serta memperlambat perkembangan DM Tipe 2.110 Kandungan fitosterol di dalamnya diduga mengurangi penyerapan gula di saluran cerna.111
- Bawang Merah (Allium cepa): Konsumsi bawang merah mentah dilaporkan dapat menurunkan gula darah pada penderita DM Tipe 1 dan 2, namun penelitian lebih lanjut diperlukan.110
- Kunyit (Curcuma longa): Kandungan kurkumin dalam kunyit memiliki sifat antioksidan tinggi yang dapat membantu mencegah perkembangan penyakit dan meminimalkan risiko komplikasi diabetes.110 Nanokurkumin juga diteliti dapat memperbaiki Diabetic Sensorimotor Polyneuropathy (DSPN) dan menurunkan Gula Darah Puasa (GDP) serta HbA1c.112
- Ginseng (Panax ginseng, Ginseng Amerika): Dikenal dapat membantu mengontrol penyerapan kadar gula darah, sehingga mencegah lonjakan gula darah tiba-tiba. Senyawa ginsenosides di dalamnya memengaruhi kadar insulin dan menurunkan kadar gula darah.110 Ginseng Amerika (Panax quinquefolius) juga diduga dapat mencegah resistensi insulin.111
- Jahe (Zingiber officinale): Penelitian menunjukkan jahe dapat menurunkan kadar gula darah tanpa menurunkan kadar insulin, sehingga berpotensi mengurangi resistensi insulin pada penderita DM Tipe 2.110
- Kayu Manis (Cinnamomum verum/cassia): Diduga memiliki efek seperti insulin dalam tubuh yang dapat menurunkan kadar gula darah dan mengurangi risiko komplikasi diabetes seperti penyakit jantung. Namun, efektivitas dan efek sampingnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.111
- Cengkeh (Syzygium aromaticum): Senyawa dalam cengkeh diduga dapat meningkatkan produksi insulin dan menurunkan kadar gula darah.111
- Pare (Momordica charantia): Mengandung saponin, flavonoid, polifenol, serta senyawa seperti cucurbitacin, momordicin, dan charantin yang terbukti menurunkan kadar gula darah.112
- Daun Salam (Syzygium polyanthum): Kandungan flavonoid dalam daun salam diduga berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah.112
- Herbal Lain: Gymnema sylvestre 111, daun sirsak (Annona muricata), daun pegagan (Centella asiatica) 112, kacang kenari (Juglans regia) 112, propolis 112, Coccinia grandis, serai (Cymbopogon citratus), ramuan China (Huangqi dan Huanglian), Bersama abyssinica, dan ciplukan (Physalis angulata) 113 juga disebutkan dalam berbagai penelitian memiliki potensi antidiabetes.
C. Penyakit Jantung
Beberapa herbal diyakini memiliki sifat kardioprotektif.
- Bawang Putih (Allium sativum): Bermanfaat menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL), mengurangi peradangan, dan menurunkan tekanan darah. Konsumsi bawang putih dapat mengurangi risiko serangan jantung dan stroke, serta membantu membersihkan plak di arteri.65
- Teh Hijau (Camellia sinensis): Mengandung polifenol seperti epigallocatechin gallate (EGCG) yang bersifat antioksidan dan anti-inflamasi. Konsumsi teh hijau dikaitkan dengan penurunan kolesterol jahat dan pemeliharaan kesehatan jantung.65
- Jahe (Zingiber officinale): Memiliki kemampuan anti-inflamasi dan antioksidan. Studi menunjukkan jahe dapat membantu menghentikan pembekuan darah di pembuluh darah, sehingga potensial untuk mencegah dan mengobati gangguan kesehatan jantung.65
- Kunyit (Curcuma longa): Kandungan kurkumin di dalamnya diyakini dapat melindungi otot jantung, mengurangi pembekuan darah pada arteri, dan membantu membuka penyumbatan arteri. Namun, konsumsi berlebihan tidak dianjurkan.65
- Kayu Manis (Cinnamomum verum): Senyawa anti-inflamasi di dalamnya membantu menyeimbangkan tekanan darah dan kolesterol, yang merupakan faktor risiko penyakit jantung.65
- Ginseng (Panax ginseng): Telah lama digunakan untuk kesehatan jantung. Namun, konsumsi berlebihan atau bersamaan dengan obat jantung lain perlu dikonsultasikan dengan dokter.65
- Ketumbar (Coriandrum sativum): Memiliki senyawa diuretik yang membantu mengeluarkan cairan dan natrium, sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan kolesterol jahat, mengurangi faktor risiko penyakit jantung.65
- Beras Ragi Merah (Monascus purpureus): Mengandung senyawa lovastatin yang dapat menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) dan tekanan darah jika dikombinasikan dengan obat statin.114
- Biji Rami/Flaxseed (Linum usitatissimum): Kaya asam lemak omega-3 dan serat lignan, yang terbukti mengurangi kolesterol dan penumpukan plak di arteri.114
D. Osteoporosis
Beberapa herbal diteliti karena potensi fitoestrogeniknya atau kandungan mineral yang mendukung kesehatan tulang.
- Jahe (Zingiber officinale): Dapat membantu meredakan nyeri akibat osteoarthritis, yang sering menyertai lansia dan dapat tumpang tindih dengan gejala osteoporosis.115
- Teh Hijau (Camellia sinensis): Sifat antioksidan dan anti-inflamasinya dapat membantu mengurangi pembengkakan sendi.115
- Kunyit (Curcuma longa): Kurkumin di dalamnya dapat mengatasi peradangan sendi dan mengurangi nyeri. Sebuah riset menunjukkan kurkumin bermanfaat meningkatkan kepadatan tulang pada individu dengan kepadatan tulang rendah setelah konsumsi suplemen selama enam bulan.115
- Seledri (Apium graveolens): Mengandung zat besi, kalium, dan vitamin A yang dapat menutrisi tubuh dan berpotensi membantu pengobatan pengapuran tulang (osteoarthritis), yang gejalanya bisa mirip osteoporosis.115
- Temulawak (Curcuma xanthorrhiza): Mengandung minyak atsiri, kurkuminoid, dan sifat anti-inflamasi yang dapat dimanfaatkan untuk masalah sendi dan tulang.115
- Semanggi Merah (Trifolium pratense): Mengandung isoflavon (fitoestrogen) yang dipercaya dapat membantu melindungi tulang dari pengeroposan, terutama pada wanita menopause. Ekstraknya ditemukan memiliki efek baik dalam melindungi tulang punggung dan memperlambat penurunan kepadatan tulang.117
- Black Cohosh (Actaea racemosa): Herbal lain yang mengandung fitoestrogen dan diteliti potensinya untuk kesehatan tulang